Selasa, 16 November 2021

Setelah 25 Tahun

Haiii...
This is gonna be a long story...
Don't read it if u're bussy, just read if you want to know me.

----
Hari ini, 25 tahun yang lalu, aku terpaku didepan bangsal, tak mendapat restu untuk masuk ke dalam. Di sana, terbaring tubuh wanita yang kupanggil mamak. Ntah apa alasannya, ada larangan bagi anak-anak (non pasien) untuk masuk ruang perawatan. Tidak ada 1 pun anak yang boleh berkunjung.

Kebosanan menghampiri. Lumayan lama aku berdiri disana, setidaknya cukup untuk aku merutuki keputusanku kemarin. Ngotot ikut bapak ke palembang, demi angan-angan bisa berenang dengan sepupu di tempat yang ia ceritakan. Selain, ingin bolos sekolah yang kian hari kian membosankan. Baiklah, aku memang mudah sekali merasa bosan. Kupikir, ikut bapak ke palembang bisa untuk bersenang-senang. Nyatanya...

Seharusnya aku tetap di lahat dan sekolah, daripada di sini. Menyusuri lorong rumah sakit yang bau obat namun akhirnya terlunta-lunta didepan bangsal.

"Maaf, pak. Anak kecil dilarang masuk."

Aku melihat ketegasan pada wajah perawat itu, nyaliku ciut. Makin merutuki keadaan.

Sebelumnya, aku sudah merancang agenda dengan sepupuku ingin berenang di hari minggu. Memulai hari dengan bahagia. Nyatanya, selesai sarapan bapak malah mengajak ke RS.
Aku pun sebenarnya heran. Ini bukan kali pertama mamak di rawat. Berkali-kali, hingga aku menganggap ini biasa. Kenapa pula kali ini aku harus ikut ke RS? Andai aku tahu alasannya.

Ntah negosiasi macam apa yang bapak lakukan. Akhirnya aku diperbolehkan masuk membesuk. Lega rasanya, bisa mengakhiri kebosanan menunggu.

Dari pintu ruang rawat, kami naik ke atas. Rupanya ibuku dirawat di lantai atas. Rumah Sakit ini memang besar. Terdapat beberapa bangunan besar dan bertingkat.

Berbeda dengan RS di lahat. Biasanya kl dirawat di Lahat, mamak ada diruangan VIP, kamar yang cukup luas untuk kami menemani. Keluargaku suka sering sekali gantian sakit, nenek anang-mamak-sepupu, aku sampai merasa RS sebagai rumah kedua. Berangkat dan pulang sekolah dilakukan dari RS. Selain lokasi RS lebih dekat ke sekolah, biasanya keluarga memang suka berkumpul saat ada yang sakit.

Namun, sesampainya diruangan Mamak, ternyata ini bangsal besar yang diisi beberapa ranjang. Banyak orang asing. Aku lupa ada berapa pasien yang ada di kamar itu. Yang jelas, melihat ada orang lain 1 kamar dengan keluarga kami, membuatku risih. Ini baru bagiku. Tidak nyaman rasanya, saat aku menghampiri ibuku disertai tatapan sendu berpasang mata dari orang yang tidak ku kenal. Aku tidak tau mengapa mengapa aura kamar ini begitu menyedihkan.

Di ranjang. Aku mengenali sosok yang terbaring itu. Ia berusaha bangkit dan tersenyum. Disebelah kanannya, kulihat nek ino tak henti membacakan ayat suci. Kulihat nenek menutup qur'an saat mamak mulai bergerak berusaha menggapaiku. Mulutnya bergerak, namun tak kudengar 1 katapun yang keluar. Suaranya tidak ada.

Aku bisa membaca gerakan bibir itu. Cium. Iya, itu katanya. Aku terpaku menyaksikan, betapa berbedanya ibuku dengan kali terakhir kami berjumpa. Kemana suaranya? Nenek yang tak paham apa maksud mamak berulang kali menyodorkan minum. Bukan nek, mamak pengen cium, bukan minum. Tapi mulutku pun tak kuasa berucap. Aku masih terpaku dengan reaksi ibuku setelah melihatku. Aku membatu.

Butuh beberapa waktu sampai ada yang menyadari bahwa mamak ingin menciumku. Aku digendong, agar cukup dekat dengan wajahnya tanpa ia harus duduk. Ia selalu tersenyum. Aku merasa banyak sekali yang ingin ia sampaikan, namun komunikasi kami menjadi sulit saat semua orang dewasa ini bahkan sulit mengartikan 1 kata yang keluar dari mulutnya.

Aku duduk di sisi kiri ranjang bagian atas yang bersebelahan dengan lemari untuk pasien sebelah. Keluarga pasien itu memberiku apel. Mungkin mereka kasian menyaksikan bocah 7 tahun yang duduk termenung diujung ranjang, ntah apa yang kupikirkan saat itu. Satu sisi aku berterima kasih dengan pemberiannya, namun sisi lain aku merasa dikasihani. Aku benci dikasihani. Aku tidak suka terlihat lemah.

Hari menjelang siang saat perawat mulai datang ke ruangan dan memeriksa kondisi pasien. Awalnya ia agak terkejut melihatku, namun kemudian memaklumi dan beranjak keluar. Merasa kehadiranku diterima dan mulai bosan berada diruang perawatan, aku mulai berjalan-jalan.
Mendatangi nurse station dan menyapa beberapa orang dewasa yang kutemui. Menyenangkan.

Hingga 1 perawat, ntah dari mana nyeletuk,
"Anak kecil kan ga boleh disini, kamu ngapain?".
Nyaliku ciut lagi. Aku tidak terbiasa dengan penolakan. Aku langsung berlari dan kembali ke ruang perawatan. Aku bergegas minta pulang. Aku merasa diusir.

Mang wan, adek bapak, akhirnya terpaksa mengantarku pulang. Setelah berulangkali bujuk rayunya lu tolak. Aku memang keras kepala, keputusanku sudah bulat. Lebih baik aku pergi sebelum benar-benar diusir. Akan sangat memalukan jika ditegur lagi oleh perawat itu. Aku tidak menyadari betapa mamak ingin selalu bersamaku. Aku memaksa pulang, karena takut diusir dari RS.

Setelah menempuh perjalanan panjang karena harus naik angkot yang hobi ngetem. Setengah 3 sore aku sampai dirumah wawak, kakak mamak. Dirumah cuma ada wawak tino, yang lain ntah kemana. Mang wan langsung balik ke RS setelah mengantarku.

Hatiku lega setelah sampai dirumah, akhirnya bisa bersantai dan keluar dari RS yang tidak nyaman itu. Sore itu, kami menyaksikan drama yang sedang ditonton wawak. Aku tidak paham ceritanya. Tapi sepertinya ini lebih baik daripada harus deg-degan kucing-kucingan biar gak ketemu perawat jutek itu.

Agaknya belum lama kami bersantai, datang seseorang yang tak kukenal kerumah. Setelah mengetok pintu, utusan tersebut berbicara singkat dengan wawak. Aku yang mengikuti wawak ke pintu depan tidak begitu mendengar pembicaraan mereka, sampai akhirnya orang itu pulang dan wawak berujar padaku.

"Mamak kau lah ninggal"
Mungkin melihat diriku yang tanpa ekspresi, wawak berusaha menyampaikan dengan bahasa yang lebih sederhana.
"Kau dak katek mamak lagi".

Aku cuma bisa mengangguk dan bilang "iyo"

Setelah itu kulihat wawak sibuk dibelakang, ntah apa yang ia persiapkan. Awalnya aku kembali ke kamar sepupuku. Tempatku tidur selama di palembang. Namun, aku teringat tempat persembunyian sepupuku. Ia membuat pondok-pondokan kecil disamping kamar. Aku merasa tempat itu cocok.

Perlahan aku keluar dari rumah, berharap wawak tidak menyadari pergerakanku. Duduk sendiri di pondokan itu, menangis sejadi-jadinya.

Aku tahu arti kata meninggal.
Aku tahu itu artinya aku tidak akan bertemu dengannya lagi.
Aku tahu itu artinya mulai detik itu, hidupku berubah.

Tapi aku bukan anak yang mudah mengakui kelemahan. Dan bagiku, mengumbar kesedihan itu lemah. Lebih baik aku marah daripada menangis. Padahal kelak setelah besar, aku baru mengetahui kalo orang yang gampang marah itu justru lemah, dan menangis bukan indikator lemah.

Aku ingat saat itu ba'da ashar. Aku tak punya waktu lama untuk meratap. Satu persatu tetangga wawak maupun kenalan mamak mulai berdatangan. Mamak itu ramah dan ceria. Dia mudah sekali berteman dan disukai banyak orang. Sifat yang turun ke ayuk, aku jauh lebih jutek daripada mereka. Tak heran, walaupun rumah kami di lahat, tapi yang melayat di palembang pun cukup ramai.

Jenazah tiba dirumah wawak menjelang maghrib. Hanya sebentar disemayamkan disana, kami malam itu juga kembali ke lahat.

Cerita dilahat dan pemakamannya akan ku ceritakan lain kali.

Setelah lewat 25 tahun pun, ingatan itu masih jelas. Bedanya, kesedihan dan kemarahan itu sudah berganti dengan keikhlasan.

Ada masa dimana aku selalu meratap dan menyesal mengapa aku tidak ikut dimakamkan saja.

Ada masa dimana aku merutuk dan menyalakan mamak, kenapa meninggalkan aku saat kecil, mengapa aku harus dilahirkan.

Ada masa dimana aku bersyukur, mamak tidak menderita terlalu lama. Bersyukur, bisa melalui semua situasi dan tetap ingat Allah.

Ada masa dimana aku tanpa rasa. Tidak menganggap ini musibah atau anugrah. Ini hanya fase yang harus dilakui.

Sampai, 5 tahun lalu. Aku melahirkan cucu wanita pertamanya. Dibulan yang sama, 20 tahun setelah kepergiannya.

Hari ini, kulihat gadis kecilku yang ramah dan ceria. Mengingatkanku pada almh.

Mak, dina dak tau masa kecil mamak kayak apo. Tapi, dina berusaha supaya masa kecil abeille bahagia hingga bisa tumbuh mendewasa sepertimu.

Akhir hidupmu luar biasa, amat sangat ramai pelayat. Begitu banyak orang yang ingin mengantar, membuatku sering kali merenung. Dengan sikapku yang bodo amat dan cuek ini, siapakah yang kelak mengantarkanku ke peristirahatan terakhir?

Hidupku, tidak ada seujung kuku hidupmu.

Ps. Aku tiba-tiba ingat satu hal. Saat mamak meninggal, aku ga liat bapak menangis histeris atau bertingkah berlebihan. Bapak sangat mampu menahan emosi. Berarti aku emang anak bapak, stay cool diluar tapi porakporanda didalam.
Bapaaakkkkk, i miss u 

Selasa, 21 September 2021

when i in trouble…

Dalam hidup, Aku punya kecenderungan untuk selalu melihat sisi negatif. Prepare for the worst… Itu lah alasannya hidupku cenderung stabil dan aku tidak mudah panik menghadapi apapun tantangan yang mungkin datang.  

Namun, kebiasaan ini seringkali membawaku dalam kondisi waspada dan tidak melihat bright side yang mungkin muncul. Sikap waspada itu baik, namun apabila terlalu jauh mengantisipasi apa yang mungkin terjadi di masa depan, aku cenderung lupa mensyukuri apa yang ku dapat hingga saat ini.

Bukan kali pertama atau kedua aku begini. Saat dihadapkan dengan suatu perkara, aku cenderung menganalisa kondisi dan membayangkan beberapa sekenario yang mungkin terjadi. Hingga situasi kembali terkontrol, baru aku mulai bisa bernafas dengan wajar dan menikmati moment.

Aku belum ada di tahap yang bisa menjadikan sabar dan syukur sebagai penolong. Dalam kondisi darurat hal pertama yang ku ingat setelah istighfar adalah kontigensi plan. Aku tidak dapat bersabar ataupun mensyukuri apapun dalam kondisi darurat. Nope. Its not me.

Aku tidak bercerita soal benar atau salah. Aku hanya berbagi soal pilihan yang aku buat saat kondisi darurat menghampiri. Saat emosiku diganggu dan stabilitas hidupku terusik, hal pertama yang ku lakukan bukanlah bersabar atas musibah ataupun bersyukur karena kondisinya tidak separah orang lain. Aku tidak punya waktu untuk itu.

Waktuku berharga dan akan kugunakan untuk membuatku dalam kondisi nyaman. Alih-alih bersabar atas musibah, aku akan mencari cara untuk survive meskipun musibah menghampiri. Alih-alih bersyukur, aku seringkali menyiapkan back up plan jika kondisi kembali memburuk. Aku tidak bisa berpikir jernih saat tertekan dan aku selalu berusaha membuat kondisi yang stabil agar penilaianku terhadap apapun clear dan tidak bias.

Aku tahu, sabar dan syukur itu harus dilakukan setiap saat. Namun, dalam hidup ada yang leboh penting dari itu. Namanya IKHTIAR…

Selalu berjuang melakukan yang terbaik dan siap jika sewaktu-waktu kondisi memburuk.



Senin, 28 Juni 2021

Menghindar atau Berdamai?

Senin terakhir dibulan Juni.
Ingatanku kembali ke 14 tahun yang lalu. Kala kami, memasuki tahun kedua kuliah dan mulai menemukan teman yang satu frekuensi. Situasi kost putri yang kami diami, makin memperjelas konflik antar wanita yang kian hari kian runcing. Kost dua lantai yang kemudian dikenal dengan “anak atas” dan “anak bawah”. Kami, anak bawah yang cuma tau 3K. kost, kampus, kantin. Kontras dengan anak kamar atas yang lebih gaul dan hidupnya tidak sekedar kuliah.

Kita memang akan dikumpulkan dengan orang-orang dengan frekuensi yan sama. Mungkin kesamaan kami yang tidak gaul ini membuat kami akhirnya merasa lebih nyaman jika berada di tempat yang terpisah dari mereka yang suka hangout hingga larut malam. Seperti kebanyakan anak cupu lain yang menghindari konflik, kami tidak punya keberanian untuk konfrontasi atau sekedar menyampaikan keberatan saat merasa terganggu dengan keributan yang mereka buat hingga larut malam. Satu-satunya keberanian yang kami ambil adalah menghindari berada disekitar mereka. Kami menyingkir dan pindah kost.

Tentu saja tidak mudah mencari kost putri yang semua isinya satu frekuensi. Semakin banyak kepala, semakin banyak pemikiran, semakin mungkin ada konflik menghampiri. Demi meminimalisasi konflik, kami mencari kontrakan yang bisa dihuni sedikit orang. Hanya untuk kami sendiri.  Yang kami yakini, masing-masing-masing-masing dari kami cukup saling mengenal dan bisa tinggal di bawah atap yang sama dengan damai.

Kami, yang awalnya tidak terlalu akrab. Akhirnya menjadi dekat karena kompleksitas kepribadian kami ternyata memang saling melengkapi. Aku, seorang koleris kuat, yang keras kepala namun tegas dan mampu mengambil keputusan dalam waktu singkat dan efisien. Suci, yang heboh dan selalu paling update diantara kami, yang paling tahu caranya bersenang-senang dan meredakan ketegangan karena sikapku yang terlalu serius. Lina yang detail dan perfeksionis. Sang anak baik dan selalu taat aturan. Sementara Eme, adalah orang tersabar di rumah. Orang pertama yang akan menjadi tempat curhat siapapun yang sedang gulana. 

Kami pikir, keluar dari kost yang ramai dan pindah ke kontrakan berempat adalah keputusan terbaik untuk menghindari konflik. Ternyata ini akan menjadi keputusan yang memberikan kami banyak sekali pembelajaran diakhir usia belasan. Kami yang sebelumnya berusaha menghindar, justru dipaksa menghadapi, memahami dan menerima perbedaan. Ternyata, walau kita punya banyak persamaan, pada akhirnya kita individu yang berbeda. Justru perbedaan yang kita miliki yang membuat kita saling membutuhkan dan memberikan banyak warna dalam hidup. Kami yang sebelumnya hanya mengenal hitam putih abu-abu, semakin lama semakin bisa melihat warna lain yang lebih mencolok dan ternyata itu tidak apa-apa. 

Pada akhirnya, perbedaan untuk diapresiasi dan diterima sebagaimana seharusnya warna itu. Walau mirip, warna donker itu bukan hitam. Warna putih tulang dan putih susu, sampai kapan pun tetap berbeda. Dan itu tidak apa-apa. Tidak lantas kita bisa mengkotakkan warna sesuai dengan apa yang kita mau. Justru kita harus belajar menerima warna apapun sebagaimana warna tersebut adanya.

menghindari masalah dan berdamai dengan masalah adalah dua hal berbeda. Yang satu hanya butuh denial, sementara yang lain butuh mengerti.

Senin, 07 Juni 2021