Kamis, 29 Februari 2024

Rekreasi Razka

Hari ini, alhamdulillah berkesempatan menemani anak lanang bersenang-senang dengan teman satu kelompok bermainnya. Sejak bulan lalu saat seragam untuk hari ini dibagikan, razka sudah sangat bersemangat. Setiap hari menyanyikan lagu “naik bus” yang nadanya dia karang sendiri. Isi lagunya pun cuma “naik bus, baik bus, adek mau naik bus”. Terakhir dia naik bus ya saat ada rekreasi bersama kelompok bermainnya tahun lalu. Kala itu, ia yang masuk di tengah semester malu-malu dan belum akrab dengan siapapun. Namun, moment naik bus nya selalu ia sukai. Baginya seru sekali naik mobil dengan ukuran besar, beramai-ramai, dan sambil bersenda gurau sepanjang perjalanan.

Hari ini pun tiba. Hari istimewa dimana razka dan teman-teman meninggalkan sekolah dengan sukacita. Tujuan pertama, museum dirgantara. Ia mengagumi banyak hal. Ingin menaiki semua pesawat yang boleh dinaiki. Mendekati dan ingin memegang badan pesawat kecil yang tergapai tangannya. Hatinya penuh, terlihat dari senyum malu-malunya. Razka bukan tipe anak yang terang benderang mengakui perasaannya, namun ia hanya akan tersenyum malu saat kenyataan sesuai ekspektasinya.

Untungnya, rekreasi kali ini razka sudah punya sahabat. Ezza namanya. Mereka terlalu akrab sampai-sampai apapun yang ezza lakukan, diikuti razka. Kemanapun razka berjalan, ezza mengikuti dibelakang. Hari ini kedua anak ini tak terpisahkan. Meneruskan kebiasaan mereka disekolah, selalu bersama. Keduanya terlihat bersuka cita bersama. Memang, saat kita bertemu teman yang nyaman, situasi baik berubah menjadi luar biasa. 

Berada di museum tentu menyenangkan, namun ini tetaplah bukan tempat bermain. Anak-anak usia 2-5 tahun ini masih terlalu kecil untuk paham esensi, namun setidaknya kegiatan ini mampu menumbuhkan rasa cinta dan kebanggaan akan kekayaan dirgantara Indonesia. 

Setelah puas bekeliling, kami melanjutkan perjalanan hari ini dengan bermain. Alhamdulillah tinggal di kota yang punya banyak lokasi rekreasi. Jogja punya pantai, gunung, kraton, museum, aneka hiburan, dan lain sebagainya. Setelah puas berkenalan dengan dunia dirgantara, kami mengajak anak-anak bermain di kids fun. Aneka wahana rasanya ingin dicoba. Anak-anak bersemangat walau tidak semua wahana boleh mereka naiki. Melihat gemerlap warna, aneka permainan yang menarik, mata mereka menyiratkan rasa penasaran yang tinggi.

Kami mencoba hampir semua wahana yang boleh dinaiki anak 4 tahun. Menyenangkan sekali berkeliling, namun akhirnya razka lelah juga dan minta di gendong setelah selesai memainkan wahana yang menarik baginya.

Namun, rasa lelah itu sirna saat melihat playground menjelang pintu keluar. Razka turun dari gendongan dan mulai menjelajah area bermain dalam ruangan tersebut. Semangatnya kembali menyala, kekuatannya entah muncul dari mana. Sekitar 20 menit kemudian baru kami pergi meninggalkan area bermain itu. Bukan karena ia bosan, namun karena cuaca yang kian gelap menjelang hujan. Keputusan tepat untuk segera kembali ke bus. Tepat setelah kami duduk didalam bus, diluar hujan turun dengan lebatnya.

Alhamdulillah perjalanan kami berjalan lancar hingga kini kembali ke rumah. Kami membawa banyak kenangan indah. Kelak, jika razka lupa tentang hari ini, aku akan kembali membuka galeri dan memamerkan hasil jepretan yang tidak seberapa, sekedar untuk mengingatkan dia. Hari ini kami bergembira bersama.

Rabu, 28 Februari 2024

Lelah Batin

Tadi setelah mengikuti pengajian triwulan rencananya mau bikin rangkuman, malah scroll instagram berujung nonton reels  dari dosen filsafat sepertinya. Aku lupa nama akunnya tapi masih ingat beberapa poin yang disampaikan. Rasanya kok “aku banget”. Pembahasan tentang kelelahan secara batin. Ciri-cirinya persis seperti yang aku alami. Tidak punya motivasi, kelelahan secara fisik (padahal gak ngapa-ngapain), sulit konsentrasi, sulit tidur, mudah terpancing emosi dan sederet ciri lain yang aku rasakan belakangan ini.

Penyebabnya apa ya? Katanya sih bisa karena stress berlebihan. Kalo aku kayaknya karena overthinking deeh, stress yang dibuat sendiri. Kebanyakan rasa lelah ini berasal dari pikiran. Hidupku pada dasarnya cukup. Allah terlalu mencintaiku dan semua doaku dijawab sesuai harapan. Tapi rasa lelah itu tetap ada. Kenapa? Sepertinya menjadi ibu rumah tangga membuatku merasakan isolasi sosial. Apakah suamiku melarang bergaul? Tidak. Tapi aku sendiri yang terlalu nyaman di rumah dan tidak ingin meninggalkan kenyamananku. Bergaul baik untuk kesehatan mental sepertinya. Berbincang dengan orang lain, berbagi keluh, tertawa bersama, stress release yang baik sepertinya. Tapi aku terlalu pemalas, ini penyakit utamaku sepertinya. Rasa malas ini juga yang membuat hidupku tidak seimbang. Jarang gerak, makan tidak teratur, terlalu lama bersama gawai. Astaghfirulla… 

Penyakit yang memang disebabkan gaya hidup tidak sehatku sendiri.  Katanya hidup yang terlalu nyaman pada akhirnya akan membuat kita tidak nyaman. Betul sekali. Hidupku yang terlalu mudah membuatku menjadi pemalas level dewa. Tidak adanya motivasi dan dorongan dari sekitar yang memaksaku berubah membuatku semakin menikmati kemalasan. Siapa yang salah? Aku lah. Motivasi terbesar haruslah berasal dari dalam. Aku harus kuat melawan kemalasanku sendiri.

Secara teori sih katanya cara mengatasi kelelahan batin ini adalah dengan mengistirahatkan tubuh dan pikiran, berkonsentrasi (sholat yang khusyuk), menentukan prioritas, berolahraga, mengatur asupan makanan yang masuk dan sederet kebiasaan positif lainnya. Terus kenapa ga dikerjain dina kalo udah tau caranya? Lingkungan itu penting banget ya. Punya suami yang selalu menerima apa adanya membuatku tidak tertantang untuk menjadi lebih baik. Tapi apa mungkin dia yang salah? Tetap salahku sih. Dengan semua fasilitas ini, seharusnya aku mampu memotivasi diriku untuk menikmati hidup. Menikmati dengan maksimal. Bukan cuma glundang glundung dikasur empuk sepanjang hari.

Aku ga yakin sih aku akan mudah berubah walau sudah tahu faktanya. Tapi satu yang pasti, hidupku akan selalu diliputi kelelahan batin jika aku tidak mengubah kebiasaan. So… dina mau berkubang dalam lelah atau berjuang naik dan berdaya?

Selasa, 27 Februari 2024

Entrepreneur Day

Hari ini, kelas abeille kebagian giliran jualan di kegiatan entrepeneur day. Bagian jualan ini selalu bagi momok buatku. Aku selalu merasa tidak memiliki keahlian apapun yang menjual. Masak ga bisa, kreativitas minim, ide bisnis nol besar, marketing apalagi. Setiap berjualan ada fase laku dan tidak tapi untungnya selama 1 semester biasanya hanya 2 kali dia kebagian jualan, tidak terlalu sering, bingung juga cari ide jualan saat bundanya tidak ada ketertarikan sama sekali dengan dunia entrepreneur.

Aku terlalu bingung barang apa yang sedang disukai anak-anak saat ini. Tidak mengerti juga sebaiknya dipasang harga berapa yang sesuai untuk suatu harga. Tugas anak sebenarnya untuk memutuskan agar muncul jiwa kewirausahaannya, namun abeille yang masih kelas 1 SD ini sepertinya belum punya pikiran berwirausaha. Bahkan hanya untuk menawarkan dagangan yang sudah disiapkan, dia masih malu-malu. Gak papa sih, semua butuh proses.

Kali ini, aku memutuskan berjualan puding. Tentu dengan kemampuan masakku yang dibawah rata-rata, tidak mungkin aku ahli meracik bahan. Nutrijel instan jadi andalan. Beli nutrijel puding cokelat beserta vla vanilanya, ditambah puding mangga supaya ada variasi jenis. Jelas tidak butuh keahlian apapun membuat puding instan, tinggal masukkan racikan ditambah air. Puding jadi dan siap didinginkan.

Naahh bagian tersulit dari jualan menurutku adalah penentuan harga. Aku selalu, selalu, dan selalu bingung dibagian ini. Jiwa sosialku rasanya lebih tinggi daripada jiwa usaha. Aku merasa “jahat” jika mengambil untung terlalu besar. Setelah ku hitung harga bahan yang dibutuhkan, aku sadar modalku sekitar seribu per cup. Menjual seharga dua ribu rupiah membuatku merasa menjual terlalu mahal, itu 100% dari modal. Menjual seharga 1,500 akan sangat merepotkan karena aku tidak punya kembalian 500-an jika ada pembeli. Akhirnya kuputuskan untuk jual diharga modal. Seribu rupiah.

Aku sadar, secara umum harga puding di kios2 pinggir jalan itu sekarang rata-rata dua ribu. Dari pembuatnya dihargai seribu lima ratus, pemilik tempat ambil untung lima ratus per item. Aku merasa tidak tega menjual harga segitu, toh ini untuk anak-anak. Mereka main ke rumah pun pasti puding itu aku sajikan gratis, tidak minta bayaran. Jadi, jika harus menjual kepada mereka rasa-rasanya aku tidak tega ambil untung.

Mungkin perasaan ini juga yang membuatku tidak tertarik berdagang dengan orang yang aku kenal. Jika harus menjual barang misalnya, aku lebih nyaman memasarkan secara daring. Bertransaksi dengan orang yang tidak aku kenal. Aku selalu merasa bersalah jika ambil untung dari mereka yang ku kenal. Entah perasaan macam apa ini, namun ini juga yang membuatku mengurungkan niat menjadi ibu pengusaha. Dah lah, aku menyerah sebelum terjun ke dunia bisnis. Tidak mampu aku menghargai jasaku, aku terlalu khawatir produkku tidak diminati sehingga aku rela menjual dengan harga modal saja hahaha…

Agak aneh memang, tapi yaa sudahlah toh memang sesuai harapan. Pudingku terjual habis. Aku tidak menderita kerugian apapun, misson accomplished.

Sabtu, 24 Februari 2024

Belajar Bahasa Baru

Hari ini membersamai abeille bermain dan bersenang-senang di SMP-SMA Kesatuan Bangsa yang emang lokasinya di dekat rumah. Kebetulan lagi ada kegiatan KBSmart, kegiatan pengenalan bahasa inggris dengan menyenangkan dan sekaligus menumbuhkan ketertarikan anak-anak terhadap bahasa asing.

Sembari abeille bermain dengan anak seusianya, para ibu yang menemani diajak untuk mengikuti seminar parenting. Dalam seminar yang diadakan dalam 3 sesi ini, sesi pertama yang paling membuatku terpana. Sesi yang diisi pembicara native english sehingga disediakan penerjemah untuk memudahkan para orang tua memahami maksud kalimat. Namun, sesi ini pula yang membuatku sedikit lebih relax dan lebih legowo untuk pecaya dengan kemampuan abeille dalam belajar bahasa.

Beberapa bulan ini aku sedikit terganggu karena abeille belum bisa membaca soal dalam bahasa inggris, sementara ada 4 pelajaran yang menggunakan english sebagai bahasa pengantar. MathScience, English, dan CSES (Civic, Social and Ethics Studies). Bagaimana ia bisa menjawab soal jika membaca soal saja dia tidak mampu. Saya agak stres juga.

Pembicara kali ini merupakan seorang ibu bekerja dengan tiga anak yang besar di negara berbeda. Anaknya mampu menguasai beberapa bahasa karena ia membebaskan anaknya begaul dalam lingkungan yang beragam. Sebagai orang yang berasal dari inggris, ia tentu fasih dan menjadikan bahasa inggris sebagai bahasa ibu. Pekerjaan membuatnya melanglang buana. Ia pernah bekerja di Prancis, negara Arab, dan sekarang di Indonesia. Ketiga anaknya tumbuh dan berinteraksi dengan warga setempat untuk mempelajari bahasa lokal.

Aku jadi merasa, keputusanku sangat tepat membesarkan abeille disini. Tujuanku ingin ia bergabung di lingkungan masyarakat jawa, mengenal budayanya dan mampu menggunakan bahasanya. Tidak fasih untuk saat ini namun sedikit-sedikit ia terbiasa mendengar dialog bahasa jawa dari lingkungan. Bahasa inggris? Makanya aku masukkan ke SD-nya saat ini. sekolahnya menggunakan kurikulum cambridge untuk 3 pelajaran tadi. Dia memang kesusahan sekarang tapi bismillah aku percaya pada kemampuannya. Ala bisa karena biasa. Perlahan, kemampuan berbahasanya meningkat. Toh belajar dari pengalaman pembicara tadi, anaknya pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan lingkungannya setelah beberapa bulan. Jika aku membuatkan abeille terpapar bahasa yang perlu ia kuasai, berada di lingkungan yang tepat, aku yakin, dia mampu.

Bunda percaya kakak abeille bisa. Semangat yaa nak, bunda akan sellau jadi fasilitator yang membantumu bertumbuh.

Jumat, 23 Februari 2024

Genius Hour Abeille

Hari ini, kali ke-2 abil presentasi untuk genius hour. Pertama kali dia presentasi, semester 1 kemarin. Belum punya ide untuk melakukan eksperimen, kali itu ia memilih untuk presentasi tentang siklus hidup kura-kura. Sebelumnya aku selalu mengasosiasikan kura-kura itu yaa turtle sampai akhirnya aku googling dan menemukan padanan kata yang lebih tepat untuk kura-kura itu tortoise. Turtle lebih tepat jika dipadankan dengan penyu. Ini berkaitan dengan siklus hidup keduanya yang ternyata sedikit berbeda. Anaknya yang presentasi, ibunya pun kecipratan ilmu.

Kali ini, ia yang sebelumnya berpikir untuk membahas tentang kucing, beralih ingin melakukan eksperimen sederhana yang menyenangkan. Setelah sedikit mencari bahan eksperimen mudah dan menyenangkan (dan tentunya belum pernah dipresentasikan teman-temannya) pilihan jatuh ke eksperimen kantong plastik yang diisi air, ternyata tidak akan bocor airnya meski ditusuk plastiknya dengan benda tajam. Asal tusukannya ga dicabut yaa. Lubangnya akan tetap ada, tapi selama penusuknya tidak dikeluarkan, airnya tetap tertahan didalam plastik.

Aku kembali teringat dengan kejadian di film-film. Saat aktor tertusuk pisau, tidak langsung dicabut, melainkan dibiarkan disana sampai kondisi aman (ada tenaga medis yang siap sedia). Kalo dalam eksperimen kantong plastik tadi sih karena bahan plastik yang berasal dari molekul kimia panjang, polietilen yang memang akan membuat plastik menjadi lentur namun kokoh dan sulit dihancurkan. Ini juga yang bikin sampah plastik jadi masalah banget dimuka bumi, susah banget ancurnya.

Eh balik lagi ke soal luka terkena benda tajam. Itu prosesnya bagaimana ya? Kulit kita jelas bukan berasal dari bahan sintesis tapi Allah sangat sempurna menciptakan manusia sehingga kulit yang tipis ini, mampu melindungi tubuh dari “kebocoran” darah.

By the way, tadi itu kali pertama aku melihat abil presentasi. Karena saat genius hour semester lalu, aku mempercayakan kepada gurunya dikelas untuk mendampingi. Kali ini, ia melakukan eksperimen. Sederhana memang, namun karena ini melibatkan air, tusuk sate dan beberapa plastik. Aku merasa perlu memantau agar sampah yang dihasilkan tidak mengganggu atau membuat kelas berantakan.

Aahh aku ibu yang terlalu bangga dengan anak sendiri. Aku memandang gadis kecilku dengan kagum. Ternyata, dia bisa. Walau katanya “kakak deg-degan, bunda” tapi dia mampu mengontrol rasa takutnya dan menjawab setiap pertanyaan temannya dengan lancar. Good Job, little girl. Kedepan bunda yakin, kamu akan bertumbuh jauh lebih baik dari hari ini. Anak manis bunda, bertumbuh dengan baik. Alhamdulillah…

Selasa, 06 Februari 2024

Melatih Konsistensi

Katanya, butuh 21 hari untuk mengubah kebiasaan dan membentuk kebiasaan baru. Konsistensi yang dilakukan selama 21 hari akan berlanjut terus menerus dan menjadi biasa. Nyatanya? Teori yang dikemukakan Maxwell Maltz dalam buku berjudul Psycho-Cybernetics pada 1960 ini sudah usang. Penelitan terkini yang dilakukan beberapa peneliti menemukan bahwa butuh waktu yang lebih panjang untuj membentuk kebiasaan. Hal ini pun dipengaruhi oleh banyak hal, sangat berbeda pada masing-masing orang, tergantung  pada prilakunya, motivasi, daya juang dan lain sebagainya.

Awal tahun ini aku memutuskan untuk konsisten menuangkan pikiranku dalam bentuk tulisan. Kepalaku seringkali terasa penuh karena aku terlalu malas mengurai isi kepala dalam bentuk tulisan. Semua berputar dan semakin semrawut membuatku semakin malas mengurai semuanya. Emosi yang tidak stabil hasilnya karena kepala terlalu penuh tapi tubuh terlalu malas. Bahkan memerintah diri sendiri pun aku tak mampu. Aku terlalu dimanjakan dan diperbudak kemalasan. Bergabung di Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP) membuatku belajar untuk mengingat kembali satu persatu isi kepala. Semoga dengan ini isi kepalaku tidak terlalu kusut.

Januari, bulan pertama aku mencoba konsisten bercerita, aku mampu menulis 10 hari dari 31 hari, tentu bukan awal yang membanggakan. Masih jauh dari kata rutin, namun setidaknya aku belajar mengurai isi kepala. Februari ini, aku tidak tahu apakah mampu menulis lebih banyak tapi aku berusaha konsisten menulis. Ternyata ini lumayan bisa menjadi terapi, walau entah kapan aku bisa benar-benar konsisten menulis setiap hari namun aku berusaha melawan rasa malasku.

Resolusi 2024 yaa biar bisa lebih mindfull menjalani hidup. Aku ingin merayakan setiap hari dengan menulis semua kegelisahan, mensyukuri semua berkah, dan berjuang untuk melawan kemalasan dalam diri. Aku tidak ingin memprediksi bagaimana diri diakhir tahun nanti, terlalu jauh sepertinya. Aku hanya berfokus untuk mencatat perjalanan hari demi hari. Hal-hal kecil yang mungkin akan aku lupakan, namun setelah dibaca ulang, aku akan paham pergolakan yang aku rasakan sat menulis itu.

Konsistensi itu sulit (bagiku), itulah mengapa aku tidak bisa melakukannya sendiri. Aku butuh bantuan dan KLIP hadir. Tidak ada paksaan untuk selalu menulis setiap hari. Namun aku merasa punya teman yang sama-sama belajar mengabadikan memori dalam bentuk tulisan. Perasaan “Aku tidak sendiri” membuatku sangat nyaman dan lebih bersemangat untuk mengurai isi kepala. Terima kasih KLIP.

Minggu, 04 Februari 2024

Melepaskan Emosi

Aku termasuk sumbu pendek. Emosiku gampang sekali tersulut oleh hal-hal kecil. Saat sedang serius dengan sesuatu, gangguan kecil pun akan ku respon dengan emosi meledak-ledak. Serem deh kl ngaca liat muka sendiri lagi ngomel.

Tergantung lingkungan sebenarnya. Aku cenderung mampu menahan emosi saat berada di lingkungan yabg aku tidak nyaman. Di tempat-tempat baru, aku cenderung cuek dengan apapun tingkah orang lain, emosiku sulit disulut. Tapi, beda halnya dengan di dalam rumah. Aku bisa emosi sekali saat orang terdekatku bertindak secara tidak sopan menurutku. Hal yang biasanya aku cuek saja jika dilakukan orang lain.

Berulang kali membaca dan mencari referensi soal menahan emosi, ntah nonton ceramah, baca buku, bahkan curhat ke psikolog juga buat mengendalikan emosi yg sewaktu-waktu meledak ini. Setidaknya sekarang aku sedikit paham, emosi itu dilepaskan, bukan di pendam saja.

Naahh yang harus dipelajari adalah cara melepaskan emosi dengan elegan tanpa menyakit siapapun, termasuk diri sendiri. Emosi yang selalu ditahan justru hanya akan berubah menjadi gunung api yang sewaktu-waktu bisa meledak, bahkan jika hanya disulut oleh hal sepele. Emosi yang mampu dilepaskan dengan cara yang benar akan membuat kita lebih tenang.

Secara teori membaca istighfar juga termasuk cara untuk release emosi. Namun terkadang, tidak semua orang ingat untuk melakukannya. Saat emosi memuncak, aliran kata mengalir dengan deras hingga terkadang lupa, kata setajam pisau itu mampu melukai pendengarnya. Bukannya menyelesaikan masalah, marah-marah justru menambah konflik baru.

Penting sekali sebenarnya membiasakan membaca istighfar. Memohon ampun kepada-Nya atas segala khilaf hingga lidah menjadi lentur dan terbiasa mengucap astaghfirullahaladzim. Saat emosi, kita cenderung lupa semua teori, kita terbiasa mengucap kata yang terbiasa kita ucap dan terekam dibawah sadar. Membiasakan membaca istighfar dalam kondisi apapun, membuat kita tanpa sadar langsung beristighfar saat dihadapkan dengan situasi yang membangkitkan emosi.

Masih banyak ilmu yang belum aku kuasai. Pun ada ilmu yang aku paham, tak semua mampu aku aplikasikan. Sungguh hidup ini selalu penuh pelajaran dan ujian. Berhenti belajar sama saja sengaja tidak ingin hidup.

Sabtu, 03 Februari 2024

Film Agak Laen

Yaa ampun, ga pernah nyangka aku bakal sesuka ini ngikutin obrolan abang-abang yang ga ku kenal. Mengikuti podcast dan youtube mereka sejak awal grup ini terbentuk, membuatku merasa menjadi bagian dari pertumbuhan mereka. IKut berbahagia atas pencapaian mereka dan sekarang saat mereka akhirnya merambah dunia film, aku tidak ingin ketinggalan. Harus menjadi bagian dari jutaan penontonnya.

Hari ini, hari ketiga pemutaran film agak laen. Mungkin sekitar 500 ribu orang yang telah menyaksikan film ini namun aku yakin film ini akan ditonton jutaan pasang mata. Perasaan hangat masih aku rasakan hingga kini, berjam-jam setelah menyaksikan aksi mereka di layar lebar. Film ini menghadirkan banyak tawa dengan beberapa sentuhan horor yang benar-benar seram dan sentuhan drama yang sangat menentuh.

Aku bukan kritikus film, pun ulasan singkat ini akan sangat bias karena sebelum menonton aku sudah menyukai grup ini dengan segala komedinya. Apapun yang mereka tampilkan, sejelek apapun, sepertinya aku akan tetap menyukainya. Namun berbeda dengan suamiku. Dia bukan pecinta stand up comedy. Dia tidak mengikuti perkembangan personil agak laen ini, dia mau ikut menonton hanya karena aku saja, bukan karena menyukai grup ini sejak awal. Beberapa kali aku menyaksikan suamiku tertawa spontan, yang aku pun kaget karenanya. Dia menikmati komedinya namun diakhir dia bilang “biasa aja”. Haahh emang yaaa. Selera film suamiku semacam film action, ini kali pertama kami nonton film komedi bersama di bioskop. Yaa agak laen sepertinya masih biasa saja dimatanya, tapi seenggaknya kami sudah menyumbang 4 tiket hari ini hahaha…

Iya, ga salah. Kami menonton berempat. Aku tahu, film ini 13+ tapi aku tidak bisa meninggalkan anak-anak. Aku biasanya cukup bersabar dan menunggu film yang aku suka tayang di OTT beberapa bulan setelah selesai di bioskop, tapi kali ini aku tidak bisa menahan FOMO. Agak laen ini pengecualian. Aku menajdi sangat egois dan merasa untuk kali ini saja, aku dan keinginanku menjadi no 1 (Biasanya nonton bioskop itu anime/ kids friendly).

Sedikit bercerita soal film ini. Aku sudah mengikuti perkembangan film ini sejak awal. Sedari mereka “menodong” produser untuk memproduksi film mereka. Menonton/mendengarkan semua media yang sedang mempromosikan film ini. membaca ulasan dari mereka yang sudah menyaksikan di premier dan tentu saja keinginan makin tak terbendung setelah film ini akhirnya dibuka untuk umum.

Premis film ini menarik sedari awal. Empat sekawan yang mengelola rumah hantu di pasar malam. Mereka berjuang agar rumah hantu ini bisa profit ditengah himpitan ekonomi dan kebutuhan hidup mereka. Menggadaikan sertifikat rumah pun dilakukan demi melakukan renovasi, rumah hantu ini menjadi sangat seram dan viral. Kok bisa viral?

Terkadang hidup itu memang lucu. Kelucuan yang terjadi di film ini bertaburan dimana-mana, namun dimulai dari satu insiden. Memang jujur itu selalu opsi terbaik namun terkadang kita terlalu takut dengan konsekuensi hingga akhirnya melakukan hal-hal bodoh untuk menutupi kenyataan. Kelakuan empat sekawan ini dibanyak aspek memberikan banyak titik tawa tapi dibalik itu, mereka sosok yang berjuang demi harapan yang mereka idamkan. Pada akhirnya, menebus kesalahan selalu menjadi opsi terbaik daripada menutupinya dengan banyak kebohongan lain.

Terima kasih agak laen. Semoga selalu bisa menghadirkan tawa. Aku berharap grup ini selalu bersama. Secara usia, aku merasa seangkatan dengan grup ini sehingga apapun yang mereka bawakan terasa relate dan dekat sekali. Aku akan menanti film agak laen edisi lainnya, semoga lebih seru dan terus menghadirkan tawa.

Jumat, 02 Februari 2024

Rumah Baru

Tadi pagi aku menghadiri undangan salah satu teman yang baru saja pindah rumah. Syukuran kecil yang diawali dengan khataman Al-Qur’an dan diakhir dengan doa bersama. Alhamdulillah ikut bahagia melihat teman yang sudah memiliki hunian yang nyaman dan insya Allah penuh berkah di dalamnya.

Moment ini juga mengingatkanku sekitar 2 tahun lalu juga merasakan hal yang sama. Untuk pertama kalinya setelah 6,5 tahun menikah akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di Rumah sendiri. Kala itu syukuran yang kami lakukan mengundang bapak-bapak tetangga sekitar untuk membacakan doa bersama dan karena masih dalam suasana covid (akhir 2021) jadi tidak mengundang banyak orang.

Aku mulai berpikir, apakah perlu khatam Al-Qur’an sebelum menempati rumah baru? Sebenarnya apa saja yang sebaiknya dilakukan saat menghuni rumah baru? Aku mulai mencari lebih jauh dan setelah mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, aku mulai sedikit tercerahkan.

Pada dasarnya sebaik-baiknya rumah adalah rumah yang didalamnya diisi dengan ibadah dan banyak membaca Al-Qur’an. Adab saat menempati rumah baru sama seperti halnya adap kita saat masuk ke suatu rumah/tempat. Ucapkan salam terlebih dahulu. Dalam surat An-Nur:31, Allah berfirman:

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً 

"Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya) yang berarti memberi salam kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik."

Sebelum menempati rumah baru, tidak ada salahnya melakukan syukuran selama tidak diisi dengan ritual-ritual yang tidak sesuai syariat, toh syukuran dapat menjadi ajang perkenalan dengan para tetangga. Syukuran ini juga dimaksudkan sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan, namun bukan suatu yang wajib dilakukan.

Silaturahmi dengan warga sekitar sangat penting demi kenyamanan bersama. Sebagai warga baru, sebaiknya menyapa dan mengunjungi tetangga sekitar. Nabi mengajarkan bahwa tetangga memiliki kedudukan yang penting bagi seorang muslim. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya" (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)

Tetangga adalah keluarga terdekat kita. Jika ada hal apapun yang terjadi pada kita, tetangga adalah orang terdekat yang bisa dimintai pertolongan. Begitupun saat kita mendapatkan nikmat, sebaiknya tetangga juga orang pertama yang kita bagi. Perhatikan tetangga, jangan sampai tetangga terdekat kita merasa terzholimi tingkah laku kita. Semoga kami bisa hidup dengan nyaman di rumah ini dan bertetangga dengan baik di lingkungan ini.

Kamis, 01 Februari 2024

Agak Laen

Pandemi lalu, setelah PSBB mulai melonggar, grup yang terdiri dari empat komika asal sumatera utara ini terbentuk. Kala itu hiburan streaming sedang marak karena semua orang terbiasa di rumah saja. Aku salah satu diantara jutaan orang yang memilih menghabiskan waktu santai dengan menonton tayangan streaming dan saat beraktivitas lebih suka mendengarkan audio streaming. Salah satu platform yang hingga kini masih sering aku dengar adalah spotify.

Kala itu, teman ngobrol yang tidak banyak membuatku sangat nyaman mendengarjpkan podcast. Mendengarkan percakapan podcaster ini membuatku merasa punya teman bercerita. Walau posisinya mereka yang cerita, aku cuma sebagai pendengar tapi rasanya nyaman sekali mendengar orang ngobrol sesuatu dengan santai tapi memberikan insight atau paling tidak bak obroan tongkrongan yang memberikan perasaan senang setelah mendengar.

Agak laen adalah salah satu podcast yang ku dengarkan sejak episode awalnya. Seperti namanya “agak laen”, episode di spotify pun lain daripada yang lain. Tidak ada episode 1 di playlist mereka. Episode awal dimulai dari 2. Sedari awal mereka berbeda dan sedari awal aku sudah menyukai keanehan mereka. Agak laen menjadi satu-satunya podcast yang ku ikuti di spotify. Aku terkadang juga mendengar podcaster lain tapi tidak ada yang ku ikuti dan dengar semua episodenya seperti agak laen.

Setelah sukses di podcast, mereka merambah youtube yang mulai menampilan visual. Latar belakang mereka yang komika, membuat mereka terbiasa menulis dan tahu pakem-pakem jokes, tau kapan harus masuk dan bagaimana menghasilkan punchline yang menggelitik. Mereka dengan keunggulan masing-masing secara konstan mampu menjaga kesetaraan. Tidak ada yang selalu jadi objek ataupun pengumpan. Mereka mampu memposisikan diri sehingga keempatnya bisa menjadi objek tertawaan dan bisa juga jadi pelempar jokes.

Menyenangkan sekali mendengar dan menyaksikan mereka yang kian hari kian akrab dan bertumbuh menjadi satu grup yang solid. Boris yang pada awalnya dipanggil ketua (karena paling dulu masuk dunia stand up comedy dan secara usia juga paling senior) sekarang sering diolok sebagai komandan mentari. Dipanggil komandan karena pernah memerankan karakter tentara di salah satu film, sementara panggilan mentari karena wajahnya yang terlalu tampan dija dibanding 3 anggota lain. Paras ini penilaian yang relatif sebenarnya tapi setidaknya dikalangan mereka, secara aklamasi menganggap boris ini yang paling “damage” memberikan pesona kepada para wanita, terlebih ia baru saja menduda.

Membicarakan anggota agak lain ini menyenangkan sekali. Selain boris, masih ada jegel, bene dan oki yang juga tidak kalah pesonanya, mereka itu menarik karena komedinya nyambung dan chemistry antara mereka sangat kuat. Jegel yang belakangan sangat banyak program tv nya menjadi pesona dengan predikat komedian naik daunnya. Bene sang sutradara box office yang sadar kemampuan olah tubuhnya terlalu kaku untuk menjadi penampil, tetapi demi agak laen akhirnya berjuang agar tidak tampil memalukan di depan layar. Terakhir, ada oki, yang terlihat underdog dibanding yang lain karena ia yang terakhir masuk skena stand up comedy ini dibanding 3 lainnya. Oki lah pemersatu ke empat orang ini karena oki yang awalnya mencetuskan terbentuknya grup ini.

Hari ini. 1 februari 2024. Aku yang sudah mengikuti mereka hampir 3 tahun ini, ikut bahagia menyaksikan film perdana mereka. Perjalanan mereka dalam sebuah grup mungkin masih seumur jagung namun pertemanan mereka sebenarnya sudah terjalin jauh sebelum grup ini terbentuk. Aku berharap kedepan mereka dapat menjadi grup yang namanya lebih dikenal, lebih banyak mendatangkan kesuksesan untuk mereka.  Solid selalu agak laen. Semoga hingga nanti kalian menua, grup ini sama. Boris, Bene, Jegel, Oki.

Senin, 29 Januari 2024

Gen ABCC11

Hidup tanpa deodoran adalah hal sepele yang jarang aku syukuri. Semula aku berpikir ini suatu hal yang wajar. Aku kira (dulunya) hanya laki-laki yang sering beraktivitas luar ruangan yang memiliki keringat berlebih dan bau badan yang mengganggu, ternyata ini bukan soal gender namun genetik.

Di usia remaja aku mulai mengenal deodoran yang katanya berfungsi untuk mengurangi bau ketiak, menjaga agar ketiak tetap kering, mencegah iritas sekaligus menjaga ketiak agar tidak menghitam. Aku tidak pernah

menggunakan deodoran seperti teman-teman lain. Aku merasa ketiakku tidak mudah basah dan tidak menimbulkan bau yang mengganggu. Selain itu, memang tidak ada rambut ketiak yang tumbuh dan membuat daerah ketiak lembab/iritasi. Balik lagi, awalnya aku pikir semua perempuan sepertiku.

Belakangan, setelah artis-artis korea semakin mendunia, aku menemukan satu penelitian mengapa di korea tidak dijual deodoran. Ternyata, memang umumnya warga korea tidak memiliki bau badan. Aku tidak ada darah korea sama sekali tapi entah bagaimana aku merasa relate dengan fakta ini. 

Seorang ahli epidemiologi genetika di University of Bristol, Ian Day, mengatakan kepada Live Science“gen ABCC11 pada dasarnya adalah satu-satunya penentu apakah anda menghasilkan bau ketiak atau tidak. Penelitian ini juga menunjukan kebanyakan orang-orang di Asia Timur mengalami mutasi genetik yang menyebabkan mereka tidak memiliki bau badan, sementara itu hanya sekitar 2% dari jumlah populasi di Eropa yang kekurangan gen ini.

Aku tidak pernah melakukan pemeriksaan genetik tapi aku bisa dengan yakin bilang kalo aku termasuk di mayoritas orang Asia Timur ini. Selain tidak memiliki bau badan, kotoran telingaku juga bersifat kering. Hal ini rupanya juga disebabkan oleh gen ABCC11. Setelah menggali lebih jauh, ada hubungan antara bau ketiak dan kotoran telinga tipe basah. Info ini tersebar luas di google dan telah dikutip berbagai median dari hasil penelitian yang bisa dibilang valid.

Kabar baiknya, ini bersifat genetik artinya ini diturunkan. Aku tidak cukup mengenal ibuku karena kami terpisah terlalu cepat tapi sejauh yang aku ingat, bapak memang bukan tipe yang gampang keringetan dan bau (walau tanpa deodoran dan parfum). Aku mengamati kedua anakku tapi sepertinya genetik ayahnya terlalu kuat. 

Mengutip ancestry, Para ilmuwan berpendapat, ada dua versi-genotipe-gen: satu mengkode kotoran telinga basah, dan yang lainnya mengkode kering. Kotoran telinga basah cenderung menjadi sifat yang dominan, sedangkan kotoran telinga yang kering bersifat resesif. Aku belum bisa memastikan untuk razka, tapi kalo abil kayaknya emang bau badannya 11 12 ayahnya hahaha…

At least, golongan darah kedua anak ini AB. Perpaduan golongan darah ayahnya yang A dan golongan darahku yang B. Sejauh ini aku melihat kedua anak ini adalah perpaduan yang baik. Kulit mereka tidak secerah aku namun tidak segelap ayahnya. Kapan-kapan sepertinya aku ingin belajar (lagi) soal pigmen.

Minggu, 28 Januari 2024

Menerima Perbedaan

Hatiku masih terasa panas dan tak kuasa menyembunyikan kekesalan di dada. Sahabatku selama belasan tahun memillih sesuatu yang membuatku tidak habis pikir. Ia menyukai sesuatu yang sangat kontra dari semua nilai dan norma yang aku anut. Kuakui, memahami jalan pikiran orang lain adalah pekerjaan paling rumit di dunia. Bersahabat belasan tahun tidak lantas membuatku paham bagaimana ia mengolah informasi dan membuat keputusan.

Diluar keputusannya yang membuatku terbelangak, aku dipaksa untuk belajar satu ilmu baru. Menerima perbedaan dalam lingkup yang lebih kecil. Aku tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pandangan dengan orang yang tudak terlalu akrab. Bagiku, selagi itu tidak mempengaruhi hubungan kita, apapun pilihanmu, aku tidak peduli. Tapi, tudak demikian saat orang terdekat berbeda visi dengan kita. Ibaratnya, kita sedang bekerja di satu tim yang sama, tapi memiliki visi dan misi yang berbeda tentu sangat menganggu jalannya tim ini. Aku selalu suka bekerja dalam tim yang semua sepaham. Akan sulit mencapai tujuan jika tim ini memiliki dualisme visi.

Aku cukup beruntung, selama ini selalu berada disekeliling orang-orang dengan visi yang sama. Aku cenderung menjalani hidup yang mudah karena dukungan sekitar. Dalam lingkup terkecil, aku dan suami memiliki pandangan yang relatif sepaham tentang apapun, ini juga yang membuat rumah tangga kami nyaris tanpa konflik. Untuk pertama kalinya, sahabat terdekatku memberikan opini yang membuatku tersadar, ooh tidak semua orang terdekatku memiliki pandangan yang sama sepertinya.

Aku dipaksa mereview ulang catatan hidupku. Apakah selama ini aku terlalu menutup pikiranku yang menganggap sekelilingku satu pandangan? Apakah aku terlalu picik dan tidak mau menerima perbedaan? Apakah aku menjadi terlalu fanatik terhadap satu pandangan dan meganggap pandangan yang berbeda itu salah?

Dalam hidup aku tahu bahwa urusan dunia ini tidak ada benar atau salah. Aku berpegang pada aturan Tuhan tentang apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Itu saja peganganku, saat orang terdekat memiliki pedangan yang berbeda, aku agak terpukul ternyata. Allah, aku ingin masuk surga bersamanya. Aku khawatir ia membuat keputusan yang salah dan itu memberatkannya. Namun kemudian aku tersadar, “Hei dina, bisa jadi pandangannya yang tepat dan kamu yang salah”. Cukup saling mendoakan agar siapapun yang lebih tepat dimata Allah semoga kami berdua tetap menjadi sahabat. Sehati, sesurga.

Allah…

Semoga Engkau memberiku kelapangan dada untuk menerima perbedaan pandangan untuk urusan dunia. Semoga Engkau selalu membimbingku dijalanMu. Aamiin…

Jumat, 26 Januari 2024

Nakal

Aku seorang yang menyukai aturan. Bagiku, hidup yang terlalu bebas itu membingungan. Aku butuh batasan untuk bertumbuh dengan maksimak. Jika aku dibebaskan untuk melakukan apapun dalam hidup dan tidak ada satupun sanksi atau konsekuensi yang akan aku terima maka kemungkinan besar aku malah tidak akan melakukan apa-apa. Sedari awal aku bukanlah orang yang suka dibebaskan, aku suka diperlakukan baik saat aku taat dan diingatkan saat aku melanggar aturan. Ini hidup yang damai versiku.

Tapi…

Ada masa dimana aku menjadi sangat berani dan cenderung bodo amat. Aku tidak menimbang resiko dan sengaja melanggar aturan. Iya, masa SMA. Saat sebagian teman sebaya sibuk belajar demi bisa masuk IPA, aku yang sedari awal di plot buat jadi anak IPA malah mengajukan permohonan untuk pindah ke IPS. Entah keberanian dari mana tapi menurutku menjadi anak IPA membuatku tetap jadi anak manis yang taat aturan. Aku tertantang untuk belajar cuek dan tidak betanggung jawab.

Masa paling aku ingat dari 3 tahun masa SMA adalah saat kelas 3 IPS. Aku tetap tidak bisa jadi anak rebel macam di sinetron, aku tetap anak yang patuh aslinya tapi ada dorongan untuk nakal dan menguji kesabaran manusia dewasa di sekitarku. Kejadian yang kalau diingat lagi, sebenarnya lucu tapi memang tidak bertanggung jawab sih.

Hari itu, jadwal pertama pelajaran olahraga. Seperti biasa, sebelum memulai aktivitas kami pemanasan dan biasanya ada perintah untuk lari mengelilingi sekolah sebanyak 3x.

Aku sekolah di kabupaten di bagian selatan sumatera. Bentang alam masih asri, tanah kosong masih luas, pun sekolah kami memiliki lahan yang luasnya lebih dari 3 hektar. Mengelilingi sekolah tiap kali olahraga, bukan hal yang menyenangkan untukku yang malas gerak ini. 

Suatu waktu, tanpa berpikir panjang aku “membodohi” guru olahraga dengan berpura-pura berlari mengelilingi sekolah padahal aku memotong jalur melewati beberapa ruang kelas. Menurutku, yang kecerdasan rendah ini, guru olahraga tidak akan tahu dan kalaupun tahu tidak akan mempermasalahkan. Kenyataannya, aku salah besar. Guru olahraga ternyata merasa kami tidak menghargainya. Iya, bukan hanya aku, tapi kami. Aku memang berlari paling awal di depan untuk potong jalur, yang ternyata diikuti oleh sebagian teman-teman perempuan yang lain. Jika dihitung, sepertinya lebih dari setengah kelas jumlahnya.

Aku, yang berlari paling awal, tentu ditandai sebagai provokator. Walau beberapa teman yang lain juga berlari bersamaku dan mereka dengan sukarela mengikuti tapi hingga aku lulus sekolah sepertinya bapak itu tidak menyukaiku. Udahlah emang ga mahir di bidang olahraga apapun, banyak tingkah pula. Wajar sih kalo guru olahragaku memandangku sebelah mata.

Hari ini, 18 tahun kemudian aku masih mengingat kejadian hari itu. Betapa masa remajaku ada nakal-nakalnya juga. Kami harus buat surat perjanjian di atas materai demi meminta maaf. Sesuatu yang membuatku makin takut melanggar peraturan. Dulu, aku taat karena aku tidak mau dihukum. Sekarang, aku taat karena aku tahu saat aku melanggar, ada hak orang lain yang aku abaikan.

Aku bersyukur bertumbuh di lingkungan yang baik. Saat aku melakukan kesalahan, teguran langsung datang dan membuatku jera. Dadaku seringkali sesak saat menyaksikan seseorang berusia mapan tapi dengan bangga melanggar aturan. Aah teryata menjadi taat itu sulit ya, masih banyak yang tidak rela diberi batasan, malah sengaja menabrak aturan.

Astaghfirullah…

Rabu, 24 Januari 2024

Adil sejak dalam pikiran

Belakangan linimasa media sosial dibanjiri informasi seputar calon presiden dan wakilnya, para legislatif yang sedang bertarung dan aneka kampanye yang melingkupinya. Masing-masing kandidat yang bertarung berlomba memenangkan hati pemilih dengan beragam cara. Linimasa kian riuh dengan adanya buzzer dan pemengaruh yang gencar “menjual” jagoannya. Para tim sukses yang resmi pun tidak ketinggal, selalu mengelu-elukan jagoannya seolah hanya kandidat yang ia dukung lah yang paling layak menjadi pemenangnya.

Pertarungan di dunia maya ini, lumayan menyita perhatianku. Arus kencang informasi di media sosial, memudahkanku mencari apapun tentang kandidat yang menurutku menarik. Sayangnya, masih ada saja pendukung yang menjelekkan lawannya, menjatuhkan yang lain untuk meninggikan kandidatnya. Gambar dan narasi yang ditampilkan terlihat sangat meyakinkan dan membuatku tergiring untuk mempercayai narasi itu. Kurasa aku bukan satu-satunya yang termakan hoaks.

Untungnya, aku dibesarkan untuk selalu mempertanyakan dalil atas setiap argumen. Sekilas beberapa narasi nampak meyakinkan, namun benarkah itu yang sebenarnya? Bukankah selalu ada sebab dari terjadinya sesuatu. Tidak ada yang serta merta ada di dunia ini, semua pasti ada latar belakangnya. Telisik dan perdalam semua narasi yang ditayangkan, analisa dan bersikap objektif.

Bersikap objektif ini ternyata menjadi sulit saat kita telah tergiring untuk menyukai A dan membenci B. Jika sudah melibatkan rasa, logika terkadang dikesampingkan. Aku kembali teringat satu quote dari Pramoedya Ananta Tour dalam novel Bumi Manusia-nya “Seorang yang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”. Iya, kita kaum terdidik hendaknya selalu mendahulukan akal sehat dan berpikir terbuka sedari awal. Jika kita sudah memiliki preferensi diawal, menjadi abjektif tentu tidak mudah.

Menjaga diriku untuk selalu berbuat adil, bahkan sejak dalam pikiran, membuatku tidak menaruh asumsi atas prilaku orang lain. Jika aku mendengar hal buruk, aku bertabayyun. Jika aku mendengar hal baik, aku mendoakan yang terbaik. Cara awal yang aku lakukan dalam upaya tetap berprilaku adil adalah dengan tidak membicarakan apapun yang tidak aku kuasai. Hendaknya semua yang keluar dari diri ini, baik kata-kata maupun prilaku, adalah buah dari pemikiran matang dan analisa. 

Sedih rasanya menyaksikan riuhnya konten yang disebarkan secara masif tanpa melalui proses analisa. Terkadang masih suka merasa ajaib melihat komentar beberapa orang yang mudah sekali menghakimi dan menelan mentah-mentah semua hoaks yang tersebar. Semoga rakyat Indonesia semakin terdidik, tidak mudah menghakimi dari data yang sengaja di potong demi penggiringan opini. Semoga Indonesia yang masyarakatnya lebih baik menghasilkan pemimpin yang gemilang pula.

Aku percaya bahwa pemimpin adalah cerminan orang yang ia pimpin. Siapapun nanti yang terpilih, itulah sepertinya gambaran masyarakat Indonesia saat ini. Semoga aku tetap adil dan tidak menghakimi siapapun, bahkan jika yang terpilih nanti itu bukan kandidat yang aku jagokan.

Selasa, 23 Januari 2024

Menikah

Jika aku ditanya tentang 1 hal yang selalu aku syukuri sampai saat ini adalah menikah. Aku sempat berada dalam fase malas berhubungan dengan siapapun. Aku malas dengan semua drama perkenalan, pendekatan, pernyataan cinta, perkelahian kecil hingga letupan-letupan emosi yang tidak perlu. Aku lelah dengan semua drama. 

Setelah menamatkan pendidikan di perguruan tinggi, aku langsung mendapat pekerjaan baik yang mampu menopang kehidupanku. Aku pun dikelilingi banyak teman yang menyenangkan namun tidak mencampuri wilayah privat. Ini menyenangkan, hingga akhirnya aku masuk di fase berikutnya.

Aku mungkin satu dari banyak orang yang hidup untuk hari ini. Aku menikmati hidupku, tidak dengan berfoya-foya, tapi dengan meresapi setiap peristiwa yang aku alami. Aku membagi hidupku dalam beberapa fase tergantung kondisi emosi yang aku rasakan saat itu. Setelah sempat patah hati yang berujung aku malas berhubungan dengan siapapun, akhirnya fase itu berlalu. Lewat bergitu saja tanpa aku sadar ternyata aku sudah berdamai dengan luka itu.

Aku menyukai quote “this too, shall pass” dan aku secara aktif mengaplikasikan quote ini. Sakitnya patah hati, tidak aku tutupi. Aku mengakui rasa sakit itu, membiarkan diriku larut dalam kesedihan, membiarkan siapapun berlalu saat aku tahu hatiku belum sepenuhnya pulih, dan merelakan hidup berjalan lambat tanpa tujuan. Aku menikmati hari berlalu tanpa rencana besok akan seperti apa.

Tidak ada luka yang abadi. Pun hidup nyaman, akan membuat kita berlanjut ke fase selanjutnya, bosan dengan rutinitas. Sejatinya kita memang butuh elemen kejutan di hidup ini. Setelah menikmati hidup sebagai lajang bebas ibukota aku mulai merasa hampa. Kehampaan yang setelah aku telisik dapat hilang dengan hadirnya sosok teman yang lebih intim. Tidak sekedar sahabat berbagi cerita, tapi seseorang yang dengannya aku dapat berbagi rencana. Tidak perlu mencari kemana-mana, aku cukup melakukan refleksi dan mulai melakukan seleksi terhadap beberapa laki-laki baik yang ada disekitarku. Aahh sok primadona rasanya.

Nanti aku ceritakan bagaimana akhirnya aku membuat suamiku akhirnya melamarku. Tentu seorang dina yang gengsinya setinggi bintang-bintang, menolak untuk mendekati lebih dulu. Aku hanya membuat dia tertarik dan menggiringnya untuk menikahiku. Eehm… jadi siapa yang lebih dulu suka? Tentu dia. Tapi siapa yang tebar pesona? Jelas saya orangnya.

Menariknya hingga detik ini setiap aku ditanya, apa hal yang paling aku syukuri dalam hidup. Dibanding semua pencapaian dan semua nikmat yang Allah berikan, menjadi istrinya adalah keputusan terbaik yang pernah aku buat. Alhamdulillah, dari semua pilihan, aku memilihnya. Dengan semua keterbatasanku, ia memilihku.

Minggu, 21 Januari 2024

Berdamai dengan kehilangan

Sejak mamak berpulang 27 tahun lalu, aku masih sering tenggelam dalam kerinduan dan lautan pertanyaan. Kenapa aku? Dari milyaran manusia, kenapa Allah membiarkanku untuk tumbuh tanpa ibu?

Tanpa mengesampingkan peran mama, bagaimanapun hatiku selalu menyimpan rasa iri setiap melihat interaksi ibu dan anak. Sebaik apapun mama, aku tidak bisa benar-benar terbuka padanya. Entah berasal dari karakterku yang tertutup, atau karena rasa sungkan yang kerap hadir saat didekatnya. Aku suka sekali melihat interaksi saat anak dengan leluasa cerita masalah pribadi pada ibunya. Cerita tentang mens pertama, cinta pertama, pacar pertama, dan segala hal tentang kewanitaan yang nyaman rasanya dibahas sesama wanita. Aku, tidak seleluasa itu.

Mama hadir di hidupku tidak lama setelah mamak berpulang. Namun, sebaik apapun ia memperlakukanku, hatiku masih sering bersedih dan larut dengan rasaku sendiri. Aku tidak nyaman untuk terlalu terbuka dengannya. Aku merasa berjarak.

Melewati masa puber dan menginjak masa dewasa. Aku bersyukur memilih lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Menghabiskan usia remaja di pondok pesantren dan lingkungan islami, membuatku merasa terlindungi, namun ruang kosong itu tetap ada. Aku lebih sering mengabaikan kekosongan itu, menjalani hari demi hari seolah tanpa masalah. Aku melewati banyak hari ibu dengan rasa kesal, melalui 7 juni, hari kelahiran mamak, dengan kesedihan, dan melewati 16 november, hari ia berpulang, dengan banyak air mata. Siklus yang melelahkan selama 20 tahun.

Hatiku mulai mampu berdamai saat putri kecilku lahir 20 tahun setelah mamak berpulang. Entah bagaimana, setiap aku melihat anakku, aku merasakan kasih sayang mamak. Aku perlahan berhenti menyalahkan keadaan. Aku memang tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengannya, tapi ku harap Allah memberiku usia yang cukup panjang agar aku mampu menemani gadis kecilku bertumbuh menjadi ibu yang lebih baik dariku.

Perasaan hampa itu hanya kita yang mengalami yang tau bagaimana rasanya. Berharap orang lain yang tidak memiliki cobaan yang sama untuk paham apa yang kita rasakan tentu bukan hal yang diperlukan. Jangan berharap pada manusia, bahkan hanya untuk sebuah empati. Mungkin beberapa melihatku dengan tatapan sedih karena aku ditinggal mamak sebelum aku benar-benar paham apa itu meninggal. Beberapa melihatku biasa saja karena mereka berpikir aku tidak kehilangan figur seorang ibu, toh ada mama yang menggantikan perannya.

Pada akhirnya, luka yang kita miliki hanya akan sembuh saat kita berani melihat luka itu dengan seksama. Perlahan setelah berani melihat ke dalam diri, aku menemukan sumber sakitku. Mengingkari perasaan tersisih, malah tidak membuatku mudah berbaur. Mengakui bahwa aku memang terluka dengan prilaku beberapa orang setelah mamak berpulang malah membuatku lebih ikhlas dan lebih mudah memaafkan. Termasuk memaafkan diri sendiri yang acapkali abai terhadap emosi yang dipendam.

Terima kasih sudah bertumbuh dan mau membuka diri dina.

Selasa, 16 Januari 2024

Adiksi

Adiksi itu menyeramkan yaa. Kebiasaan kita akan pola hidup yang teratur membuat kita terbiasa dengan sesuatu yang secara rutin kita lakukan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang menyukai repetisi. Kita mengulang apapun yang menyenangkan karena otak mendapat dopamin dari hal-hal menyenangkan yang kita lakukan. Semakin hal-hal tertentu terasa menyenangkan, semakin kita ketagihan untuk melakukan hal yang sama demi merasakan sensasi dopamin itu lagi.

Terkadang, kita tidak menyadari betapa kita menyukai suatu aktivitas sampai akhirnya kita merasa kosong saat tidak melakukannya lagi. Di titik ini aku merasa, sesusah itu ternyata menghentikan ketergantungan. Rasanya ada ruang hampa yang menyesakkan saat kita tidak melakukan hal-hal yang biasa dilakukan. Dopaminku hilang.

Aku tidak menyadari bagaimana awalnya aku bergantung sekali dengan internet. Koneksi yang bisa dengan mudah aku lakukan tidak kuanggal sebagai ketergantungan awalnya. Bertahun kemudian aku mulai gelisah saat berada di wilayah dengan jaringan internet yang buruk. Ada kegelisahan akut saat tiba-tiba koneksi terputus ditengah asyiknya berselancar di dunia maya. Bahkan, aku baru menyadari reaktif sekali diri ini rasanya saat baterai telepon genggam habis namun tidak ada tempat untuk mengisi ulang daya.

Adiksi, kepada apapun, tidak seharusnya terjadi jika kita cukup mawas diri dan berprilaku sewajarnya. Aku menyadari, belakangan aku seakan terikat sekali dengan gawai. Sebelum tidur, aku menyempatkan diri memeriksa perkembangan dunia maya. Begitu membuka mata, benda pertama yang ku cari adalah gawai. Sepanjang hari, aku berkali memeriksa apapun yang sedang ramai di media sosial dan tanpa aku sadari kebiasaan ini melelahkan. Aku mudah tersulut saat konektivitas terputus. Aku menjadi manusia dewasa yang bertingkah bagai bocah kehilangan boneka saat tidak melihat gawai di sekitar. Mengerikan.

Aku mulai takut dengan diriku sendiri. Terikat dengan jaringan selama 24 jam membuatku kehilangan waktu merenung dan berpikir. Seringkali saat ingin tahu membuncah, aku langsung mencari jawaban dari ponsel pintar alih-alih memanggil ingatan yang ada di kepala. Kemampuan analisaku menurun, seiring jarangnya aku berpikir. Berselancar di dalam jaringan membuatku mendapatkan jawaban dengan cepat, bahkan sebelum aku bertanya. Arus informasi yang teras, tak terbentung. Mataku seakan mendapat banyak pengetahuan baru, otakku merasa informasi itu terlalu cepat dan belum sempat berkontemplasi, sementara hatiku tetap merasa kosong karena tidak sempat meresapi informasi yang seolah semua penting namun cepat menguap.

Sepertinya aku harus mulai menata kembali jalur yang ingin aku tuju. Tenggelam di dalam dunia maya ini melenakan namun mematikan jika tidak dikendalikan. Aku yang mengatur hidupku, adiksi hanya membuatku menjadi hamba yang hampa. Berjalan dengan santai, menikmati menunggu, membaca alam, mengamati kendaraan lalu lalang, menarik diri dari hingar bingar terkadang diperlukan. Berada dalam kotak, membuat kita tidak pernah tau sebenarnya bentuk kotak itu seperti apa. Kita harus keluar untuk tau bentuknya. Tenggelam dalam dunia maya membuat kita tidak sadar ada dunia nyata yang lebih beragam dan indah jika kita berani keluar dan berjalan menjelajah.

Semangat keluar dari adiksi.

Selasa, 09 Januari 2024

Ambisi

Bagi beberapa orang yang baru mengenalku beberapa tahun terakhir, aku bagaikan orang tanpa ambisi yang menyia-nyiakan potensi. Seringkali orang kaget saat tau pendidikan terakhirku s2 dengan pekerjaanku sekarang yang “hanya” ibu rumah tangga. Guys, if u know me, u’ll know that i really know what exacly i want. To be honesty, today i got almost everything i want… almost…

Nope, kamu salah jika mengira hidupku tanpa ambisi. Tidak mungkin aku bisa cumlaude dan jadi lulusan termuda kala itu jika aku tidak punya target. Aku sangat tau apa yang ingin aku capai, hanya saja mungkin cita-citaku berbeda dengan kebanyakan orang. Itu saja.

Bagi kebanyakan orang, pendidikan formal yang tinggi digunakan untuk menunjang karier profesional diluar rumah. Bagiku yang pernah menjadi santri. Karier terbaik menurutku setelah menikah adalah menjadi ibu rumah tangga. Ga munafik laah, masih ada sisi diriku yang ingin berkarier secara profesional diluar rumah. Namun, saat berkontemplasi dan mengevaluasi goals yang ingin aku capai, keinginin itu aku kesampingkan. 

Aku bersyukur dapat memulai karier di usia yang relatif muda, langsung menikmati menjadi “mbak-mbak SCBD” dan bergaul dengan kalangan profesional. Hingga tiba saatku menikah, aku dapat mengikhaskan semuanya dan meninggalkan prospek karier yang mungkin bisa ku capai. Cukup sudah pengalamanku (yang sebenarnya baru seumur jagung) itu, untuk bahanku menjadi istri yang bisa memahami dinamika profesionalisme dalam karier yang mungkin suamiku hadapi dalam pekerjaannya.

Hari ini… 8,5 tahun setelah aku menyandang status sebagai istri. Aku semakin menyadari betapa Allah meridhoi setiap langkah. Aku mendapatkan keinginanku yang bisa ku upayakan dan yang hanya bisa aku doakan. 

Contohnya gimana sih??

Perihal harta. Sebagai milenial yang berasal dari kalangan menengah. Punya rumah dan kendaraan yang layak itu harus diupayakan. Tidak mudah. Ditambah keputusanku menjadi IRT, tentu beban finansial yang ditanggung suamiku tidak ringan. Walau penuh perjuangan, namun kami mampu mendapatkan semuanya. 

Perihal anak. Kita sebagai makhluk tidak bisa menjamin Allah pasti memberikan anak laki-laki dan perempuan walau kita berusaha mendapatkan keduanya. Tidak ada jaminan, hanya doa dan rahmatnya saja kami bisa mendapatkan keduanya. 


8,5 tahun ini, semakin terang rasanya bagaimana Allah mencintai dengan cara-Nya. Bagaimana Allah menguji kesabaran kami dengan hal-hal yang sanggup kami jalani. Bagaimana Allah merahmati kami untuk menguji kesyukuran kami. Apapun yang terjadi sejauh ini semua baik dengan cara-Nya. Alhamdulillah…

Minggu, 07 Januari 2024

1996 vs 2024

Beberapa hari ini ditengah semaraknya percakapan di sosial media, pembahasan soal kalender 1996 dan 2024 memiliki kesamaan yahg identik membuatku tertegun. Tahun ini, hari dan tanggalnya akan sama persis dengan tahun 1996. Tahun yang dulu sempat kuandaikan hilang dari kalender.

16 November 1996. Hari terakhir aku mencium wanita cantik yang ku panggil mamak. Kepergiannya membuat hidupku 180 derajat berbeda. Hidup jungkir balik, memaksaku dewasa sebelum waktunya. Andai aku diberi 1 kekuatan, aku ingin mengubah kalender dan meniadakan tahun 1996 dalam kalender hidupku.

Dalam angan seorang dina yang kala itu masih 7 tahun. Jika tahun 1996 tidak pernah ada, maka pernikahan kedua bapak juga mustahil ada. Aku akan tetap menjadi bungsu dan hidupku jauh dari kata “berjuang”. Banyak trauma di tahun-tahun awal setelah ibu berpulang. Tidak ada satu manusiapun yang aku percaya, cukup aku dan Tuhan yang tahu apa yang ada dikepala dan hatiku.

Butuh waktu bertahun, menjelajah berbagai kebudayaan, membuka diri secara perlahan, sampai akhirnya aku mampu sedikit demi sedikit menerima kenyataan dan mulai memaafkan. Memaafkan diri sendiri yang terlalu keras dan kadang menutupi luka yang belum sembuh. Memaafkan sekitar yang seolah tidak peduli. Memaafkan prasangkaku yang lebih suka menarik diri agar jauh dari atensi.

Tahun ini, 28 tahun kemudian. Lukaku yang bernanah, perlahan aku buka dan obati. Perih dan menyakitkan, namun itu lebih baik daripada menutupi dan membiarkan luka semakin menjalar kedalam. Aku mampu menghilangkan sakitnya walau bekas lukanya masih disana dan aku belum tau cara menghilangkan bekas luka yang sudah mengering.

Tiba-tiba berita soal kesamaan kalender 1996 dengan 2024 membuat jantungku sejenak berdetak lebih cepat, terasa hangat namun meninggalkan rasa tidak nyaman yang lama. Aku merasa 1996 tahun terburuk dihidupku, aku takut. Aku merasa amat tertekan.

Di sisi yang lain, aku berupaya mengambil sisi positif. Bagaimana caranya agar 2024 ini menutupi memory buruk yang aku lewati di 1996. Bagaimanapun, 1996 juga merupakan tahun terbaikku. Tahun dimana aku mulai ingat bagaimana orang tuaku merayakan ulang tahunku dengan memberikan tas ransel sekolah sebagai kado. Itu kali pertama aku ingat kado yang ku dapat. Sekaligus mungkin ulang tahun terbaik di hidupku. Setelahnya, ulang tahunku sudah sebagai anak piatu.

Aku khawatir sekaligus bersemangat menyabut tahun ini. Aku takut sekaligus penasaran tentang apa yang mungkin ku alami tahun ini. Jantungku tak berhenti berdebar setiap mengingat 1996. Menatap kalender tahun ini, membuatku berdebar tiap hari, entah mengapa setiap melihat kalender 2024, ingatanku kembali mengingat 1996. 

Kala itu, 7 januari 1996 kira-kira apa yang sedang aku lakukan yaa? 

Selasa, 02 Januari 2024

Pilihan

Hidup itu pilihan. Saat sebagian teman yang dulu sama-sama berjuang sekarang semakin jaya menapaki tangga karier, aku bahagia dengan pilihan sederhana yang ku buat. Menjadi istri dan ibu tanpa melakukan pekerjaan profesional. 


Timeline-nya penuh dengan foto berkeliling dunia. Timeline-ku penuh dengan wajah manis dari putri kecil dan jagoan kecilku. Menyenangkan sekali melihat laman media sosial temanku yang kini sepertinya sangat menikmati hidupnya. Aku turut bahagia untuknya. Namun itu bukan hidup yang aku pilih.


Ada masa dimana aku menyenangi statusku sebagai wanita pekerja. Berkarier dibidang yang sesuai dengan jurusan kuliah. Menghasilkan uang sendiri dan melakukan semua hal menarik yang ingin aku coba. Namun, ternyata setelah bertahun ku jalani, ternyata itu bukan hidup yang ku inginkan.


Keputusan terbaik yang pernah ku buat adalah memilih untuk menikah. Suamiku, sungguh menawan. Bukan dari tampang, tapi dari prilakunya. Aku menyukai semua hal yang ia lakukan, baik untukku, untuk dirinya sendiri maunpun untuk semua orang yang ada disekelilingnya.


Menyadari bahwa aku akan menghabiskan waktu dengan orang yang sama, awalnya terasa bagai ide yang aneh. Aku tidak yakin bisa bertahan bertahun-tahun dengan orang yang sama secara terus-menerus. Masih ada keraguan untuk membiarkan orang lain masuk dan menetap selamanya. Aku tidak pernah meragukannya, sebaliknya, aku ragu dengan kemampuanku berada dalam suatu relasi. Aku mudah meninggalkan apapun yang terasa kurang nyaman. Aku khawatir akan meninggalkannya saat ia tidak bisa memberikan kenyamanan itu.


Nyatanya, setelah lebih dari 8 tahun berumah tangga, aku malah semakin bersyukur memilihnya. Aku selalu merasa, menikahi suamiku ada investasi terbaik yang pernah aku buat. Tidak masalah ia akan membawaku kemana, bersamanya walau hanya dirumah, aku bahagia.


Hari ini, aku diingatkan tentang masa lalu. Masa dimana aku bebas melanglang buana tanpa mengkhawatirkan apapun. Namun, masa itu telah berlaku. Tidak ada sedikitpun keinginan mengulanginya. Aku memilih untuk hidup dengan mengkhawatirkan banyak hal. Aku tidak yakin bisa “ngebolang” sendirian tanpa khawatir anak-anakku, tanpa khawatir meninggalkan suamiku, tanpa khawatir ‘kondisi di rumah gimana ya?’. 


Ini pilihanku. Hidup menjadi istri yang selalu sedia mendukung suami, apapun yang ia pilih. Aku memilih untuk mempercayai semua pilihan yang ia buat. Aku pun memilih untuk menghabiskan seluruh waktuku untuk membersamai anak-anak dalam pertumbuhan mereka. Ini pilihan yang aku buat, dan aku bahagia. Alhamdulillah.