Minggu, 07 Agustus 2022

Setelah 40 Hari

Bapak, cinta pertama sekaligus kekesalan pertamaku. Ia selalu hadir kapanpun aku butuh, my first hero. Ia selalu ada, saat aku senang, terlebih saat aku berada dalam kesulitan. 


Seperti halnya manusia normal, bapak tidak sempurna. Tapi ekspektasiku tidak menerima jika cinta pertamaku memiliki kelemahan. Dan aku benci ketidak mampuannya meninggalkan sesuatu yang tidak aku sukai.


Rokok… candu yang menyebalkan untukku. Aku sampai di fase, membenci semua asap. Seleksi pertama untuk setiap laki-laki yang pernah mendekatiku adalah rokok. Mau sesempurna apapun, jika ia perokok, pasti aku jauhi. Aku benci asap.


Berkali aku mendebat bapak, sesuatu yang tidak pantas aku lakukan, terkait rokok. Diantara berjuta kebaikannya, aku selalu memasang muka masam setiap menyaksikan ia dengan rokoknya. Maafkan ilmuku yang rendah ini pak, ketidak mampuanku menyampaikan yang baik dengan cara yang baik terkadang membuat kita berdebat tentang takdir dan kematian.


Bapak, lelaki baik penyayang keluarga dengan caranya. Bukan tipe bapak-bapak penuh nasehat yang mengarahkan anaknya secara langsung. Ia membebaskan kami berkembang sesuai keinginan. Bahasa cintanya adalah act of services. Ia selalu menyediakan apapun yang kami butuhkan. Ia berada di garda terdepan saat siapapun butuh bantuan. Ia sempurna untukku, namun tidak dengan kebiasaan merokoknya yang akut. Aku mengkhawatirkan kesehatannya.


Kekhawatiranku kian membuncah saat kakak tertua memanggilku pulang. Keluargaku tidak pernah mewajibkan pertemuan jika bukan sesuatu yang penting. Bapak membiarkan kami tumbuh dan berkembang dimanapun yang kami inginkan. Panggilan pulang, artinya aku harus siap dengan semua kemungkinan.


Perjalanan dari kota pelajar ke tanah kelahiran memberiku banyak waktu berkontemplasi tentang apa yang sudah aku berikan pada keluarga. Sejauh ingatan, orang tuaku memberikan terbaik yang mereka punya dan aku bahkan belum memberikan bakti yang layak. Aku berharap, Allah memberiku waktu untuk meminta maaf. 


Sabtu dini hari, 25 juni 2022. Akhirnya aku menyaksikan wajah bapak yang kelelahan dan berjuang untuk kuat. Kekhawatiranku mencapai puncak. Allah tolong jangan ambil

Bapak, dihari yang sama dengan mamak berpulang. Jangan sampai aku membenci hari sabtu.


Seperti umumnya anak saat menyaksikan ayahnya terbaring lemah. Kepala berputar mencari solusi terbaik untuk kesembuhan. Kita mendalami penyakit bapak. Setelah melihat rekam medis dan berkaca pada pengalaman, kamu sadar PPOK bapak sudah masuk tahap kronis. 


H-1 sebelum bapak berpulang. Kami saling menguatkan dan membahu untuk tidak menyebar air mata didepan bapak. Seburuk apapun kondisinya, kami harus kuat dan bersikap biasa didepan bapak. Melihat bapak semakin sesak dan sulit bernafas, tidak ada yang bisa kami lakukan selain mendampingi dan memberi semangat. Kami menolak kemungkinan terburuk dan tetap berikhtiar akan kemungkinan terbaik.


Senin, 27 juni 2022. Hari dimana kami rencanakan akan berkonsultasi dengan dokter spesialis yang menangani bapak. Kami butuh kepastian, ikhtiar ini sudah maksimal atau belum. Apalagi yang bisa kami lakukan?


Banyak pertanyaan dikepala yang sudah disiapkan. Rencananya, pagi itu kami akan berkumpul dan memaksimalkan ikhtiar. Tapi cinta Allah terlalu besar untuk kami. Di pagi yang hening, saat sebagian besar orang sedang sibuk menyiapkan hari, bapak menghembuskan nafas terakhir dengan tenang.


Sebagai orang pertama yang menyaksikan nafas bapak terhenti, ada beberapa detik aku hanya diam. Sampai akhirnya aku tersadar dan meminta opini perawat yang sedang berjaga. Hingga akhirnya bapak dimakamkan, aku tidak punya waktu mencerna semuanya. 


Hari ini, 40 hari berselang. Aku masih belum bisa menginterpretasikan apa yang ku rasakan ke dalam tulisan. Aku tidak tau bagaimana menggambarkan rasanya menjadi yatim piatu. Semua hampa. Apa kamu bisa menggambarkan hampa?