Senin, 29 Januari 2024

Gen ABCC11

Hidup tanpa deodoran adalah hal sepele yang jarang aku syukuri. Semula aku berpikir ini suatu hal yang wajar. Aku kira (dulunya) hanya laki-laki yang sering beraktivitas luar ruangan yang memiliki keringat berlebih dan bau badan yang mengganggu, ternyata ini bukan soal gender namun genetik.

Di usia remaja aku mulai mengenal deodoran yang katanya berfungsi untuk mengurangi bau ketiak, menjaga agar ketiak tetap kering, mencegah iritas sekaligus menjaga ketiak agar tidak menghitam. Aku tidak pernah

menggunakan deodoran seperti teman-teman lain. Aku merasa ketiakku tidak mudah basah dan tidak menimbulkan bau yang mengganggu. Selain itu, memang tidak ada rambut ketiak yang tumbuh dan membuat daerah ketiak lembab/iritasi. Balik lagi, awalnya aku pikir semua perempuan sepertiku.

Belakangan, setelah artis-artis korea semakin mendunia, aku menemukan satu penelitian mengapa di korea tidak dijual deodoran. Ternyata, memang umumnya warga korea tidak memiliki bau badan. Aku tidak ada darah korea sama sekali tapi entah bagaimana aku merasa relate dengan fakta ini. 

Seorang ahli epidemiologi genetika di University of Bristol, Ian Day, mengatakan kepada Live Science“gen ABCC11 pada dasarnya adalah satu-satunya penentu apakah anda menghasilkan bau ketiak atau tidak. Penelitian ini juga menunjukan kebanyakan orang-orang di Asia Timur mengalami mutasi genetik yang menyebabkan mereka tidak memiliki bau badan, sementara itu hanya sekitar 2% dari jumlah populasi di Eropa yang kekurangan gen ini.

Aku tidak pernah melakukan pemeriksaan genetik tapi aku bisa dengan yakin bilang kalo aku termasuk di mayoritas orang Asia Timur ini. Selain tidak memiliki bau badan, kotoran telingaku juga bersifat kering. Hal ini rupanya juga disebabkan oleh gen ABCC11. Setelah menggali lebih jauh, ada hubungan antara bau ketiak dan kotoran telinga tipe basah. Info ini tersebar luas di google dan telah dikutip berbagai median dari hasil penelitian yang bisa dibilang valid.

Kabar baiknya, ini bersifat genetik artinya ini diturunkan. Aku tidak cukup mengenal ibuku karena kami terpisah terlalu cepat tapi sejauh yang aku ingat, bapak memang bukan tipe yang gampang keringetan dan bau (walau tanpa deodoran dan parfum). Aku mengamati kedua anakku tapi sepertinya genetik ayahnya terlalu kuat. 

Mengutip ancestry, Para ilmuwan berpendapat, ada dua versi-genotipe-gen: satu mengkode kotoran telinga basah, dan yang lainnya mengkode kering. Kotoran telinga basah cenderung menjadi sifat yang dominan, sedangkan kotoran telinga yang kering bersifat resesif. Aku belum bisa memastikan untuk razka, tapi kalo abil kayaknya emang bau badannya 11 12 ayahnya hahaha…

At least, golongan darah kedua anak ini AB. Perpaduan golongan darah ayahnya yang A dan golongan darahku yang B. Sejauh ini aku melihat kedua anak ini adalah perpaduan yang baik. Kulit mereka tidak secerah aku namun tidak segelap ayahnya. Kapan-kapan sepertinya aku ingin belajar (lagi) soal pigmen.

Minggu, 28 Januari 2024

Menerima Perbedaan

Hatiku masih terasa panas dan tak kuasa menyembunyikan kekesalan di dada. Sahabatku selama belasan tahun memillih sesuatu yang membuatku tidak habis pikir. Ia menyukai sesuatu yang sangat kontra dari semua nilai dan norma yang aku anut. Kuakui, memahami jalan pikiran orang lain adalah pekerjaan paling rumit di dunia. Bersahabat belasan tahun tidak lantas membuatku paham bagaimana ia mengolah informasi dan membuat keputusan.

Diluar keputusannya yang membuatku terbelangak, aku dipaksa untuk belajar satu ilmu baru. Menerima perbedaan dalam lingkup yang lebih kecil. Aku tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pandangan dengan orang yang tudak terlalu akrab. Bagiku, selagi itu tidak mempengaruhi hubungan kita, apapun pilihanmu, aku tidak peduli. Tapi, tudak demikian saat orang terdekat berbeda visi dengan kita. Ibaratnya, kita sedang bekerja di satu tim yang sama, tapi memiliki visi dan misi yang berbeda tentu sangat menganggu jalannya tim ini. Aku selalu suka bekerja dalam tim yang semua sepaham. Akan sulit mencapai tujuan jika tim ini memiliki dualisme visi.

Aku cukup beruntung, selama ini selalu berada disekeliling orang-orang dengan visi yang sama. Aku cenderung menjalani hidup yang mudah karena dukungan sekitar. Dalam lingkup terkecil, aku dan suami memiliki pandangan yang relatif sepaham tentang apapun, ini juga yang membuat rumah tangga kami nyaris tanpa konflik. Untuk pertama kalinya, sahabat terdekatku memberikan opini yang membuatku tersadar, ooh tidak semua orang terdekatku memiliki pandangan yang sama sepertinya.

Aku dipaksa mereview ulang catatan hidupku. Apakah selama ini aku terlalu menutup pikiranku yang menganggap sekelilingku satu pandangan? Apakah aku terlalu picik dan tidak mau menerima perbedaan? Apakah aku menjadi terlalu fanatik terhadap satu pandangan dan meganggap pandangan yang berbeda itu salah?

Dalam hidup aku tahu bahwa urusan dunia ini tidak ada benar atau salah. Aku berpegang pada aturan Tuhan tentang apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Itu saja peganganku, saat orang terdekat memiliki pedangan yang berbeda, aku agak terpukul ternyata. Allah, aku ingin masuk surga bersamanya. Aku khawatir ia membuat keputusan yang salah dan itu memberatkannya. Namun kemudian aku tersadar, “Hei dina, bisa jadi pandangannya yang tepat dan kamu yang salah”. Cukup saling mendoakan agar siapapun yang lebih tepat dimata Allah semoga kami berdua tetap menjadi sahabat. Sehati, sesurga.

Allah…

Semoga Engkau memberiku kelapangan dada untuk menerima perbedaan pandangan untuk urusan dunia. Semoga Engkau selalu membimbingku dijalanMu. Aamiin…

Jumat, 26 Januari 2024

Nakal

Aku seorang yang menyukai aturan. Bagiku, hidup yang terlalu bebas itu membingungan. Aku butuh batasan untuk bertumbuh dengan maksimak. Jika aku dibebaskan untuk melakukan apapun dalam hidup dan tidak ada satupun sanksi atau konsekuensi yang akan aku terima maka kemungkinan besar aku malah tidak akan melakukan apa-apa. Sedari awal aku bukanlah orang yang suka dibebaskan, aku suka diperlakukan baik saat aku taat dan diingatkan saat aku melanggar aturan. Ini hidup yang damai versiku.

Tapi…

Ada masa dimana aku menjadi sangat berani dan cenderung bodo amat. Aku tidak menimbang resiko dan sengaja melanggar aturan. Iya, masa SMA. Saat sebagian teman sebaya sibuk belajar demi bisa masuk IPA, aku yang sedari awal di plot buat jadi anak IPA malah mengajukan permohonan untuk pindah ke IPS. Entah keberanian dari mana tapi menurutku menjadi anak IPA membuatku tetap jadi anak manis yang taat aturan. Aku tertantang untuk belajar cuek dan tidak betanggung jawab.

Masa paling aku ingat dari 3 tahun masa SMA adalah saat kelas 3 IPS. Aku tetap tidak bisa jadi anak rebel macam di sinetron, aku tetap anak yang patuh aslinya tapi ada dorongan untuk nakal dan menguji kesabaran manusia dewasa di sekitarku. Kejadian yang kalau diingat lagi, sebenarnya lucu tapi memang tidak bertanggung jawab sih.

Hari itu, jadwal pertama pelajaran olahraga. Seperti biasa, sebelum memulai aktivitas kami pemanasan dan biasanya ada perintah untuk lari mengelilingi sekolah sebanyak 3x.

Aku sekolah di kabupaten di bagian selatan sumatera. Bentang alam masih asri, tanah kosong masih luas, pun sekolah kami memiliki lahan yang luasnya lebih dari 3 hektar. Mengelilingi sekolah tiap kali olahraga, bukan hal yang menyenangkan untukku yang malas gerak ini. 

Suatu waktu, tanpa berpikir panjang aku “membodohi” guru olahraga dengan berpura-pura berlari mengelilingi sekolah padahal aku memotong jalur melewati beberapa ruang kelas. Menurutku, yang kecerdasan rendah ini, guru olahraga tidak akan tahu dan kalaupun tahu tidak akan mempermasalahkan. Kenyataannya, aku salah besar. Guru olahraga ternyata merasa kami tidak menghargainya. Iya, bukan hanya aku, tapi kami. Aku memang berlari paling awal di depan untuk potong jalur, yang ternyata diikuti oleh sebagian teman-teman perempuan yang lain. Jika dihitung, sepertinya lebih dari setengah kelas jumlahnya.

Aku, yang berlari paling awal, tentu ditandai sebagai provokator. Walau beberapa teman yang lain juga berlari bersamaku dan mereka dengan sukarela mengikuti tapi hingga aku lulus sekolah sepertinya bapak itu tidak menyukaiku. Udahlah emang ga mahir di bidang olahraga apapun, banyak tingkah pula. Wajar sih kalo guru olahragaku memandangku sebelah mata.

Hari ini, 18 tahun kemudian aku masih mengingat kejadian hari itu. Betapa masa remajaku ada nakal-nakalnya juga. Kami harus buat surat perjanjian di atas materai demi meminta maaf. Sesuatu yang membuatku makin takut melanggar peraturan. Dulu, aku taat karena aku tidak mau dihukum. Sekarang, aku taat karena aku tahu saat aku melanggar, ada hak orang lain yang aku abaikan.

Aku bersyukur bertumbuh di lingkungan yang baik. Saat aku melakukan kesalahan, teguran langsung datang dan membuatku jera. Dadaku seringkali sesak saat menyaksikan seseorang berusia mapan tapi dengan bangga melanggar aturan. Aah teryata menjadi taat itu sulit ya, masih banyak yang tidak rela diberi batasan, malah sengaja menabrak aturan.

Astaghfirullah…

Rabu, 24 Januari 2024

Adil sejak dalam pikiran

Belakangan linimasa media sosial dibanjiri informasi seputar calon presiden dan wakilnya, para legislatif yang sedang bertarung dan aneka kampanye yang melingkupinya. Masing-masing kandidat yang bertarung berlomba memenangkan hati pemilih dengan beragam cara. Linimasa kian riuh dengan adanya buzzer dan pemengaruh yang gencar “menjual” jagoannya. Para tim sukses yang resmi pun tidak ketinggal, selalu mengelu-elukan jagoannya seolah hanya kandidat yang ia dukung lah yang paling layak menjadi pemenangnya.

Pertarungan di dunia maya ini, lumayan menyita perhatianku. Arus kencang informasi di media sosial, memudahkanku mencari apapun tentang kandidat yang menurutku menarik. Sayangnya, masih ada saja pendukung yang menjelekkan lawannya, menjatuhkan yang lain untuk meninggikan kandidatnya. Gambar dan narasi yang ditampilkan terlihat sangat meyakinkan dan membuatku tergiring untuk mempercayai narasi itu. Kurasa aku bukan satu-satunya yang termakan hoaks.

Untungnya, aku dibesarkan untuk selalu mempertanyakan dalil atas setiap argumen. Sekilas beberapa narasi nampak meyakinkan, namun benarkah itu yang sebenarnya? Bukankah selalu ada sebab dari terjadinya sesuatu. Tidak ada yang serta merta ada di dunia ini, semua pasti ada latar belakangnya. Telisik dan perdalam semua narasi yang ditayangkan, analisa dan bersikap objektif.

Bersikap objektif ini ternyata menjadi sulit saat kita telah tergiring untuk menyukai A dan membenci B. Jika sudah melibatkan rasa, logika terkadang dikesampingkan. Aku kembali teringat satu quote dari Pramoedya Ananta Tour dalam novel Bumi Manusia-nya “Seorang yang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”. Iya, kita kaum terdidik hendaknya selalu mendahulukan akal sehat dan berpikir terbuka sedari awal. Jika kita sudah memiliki preferensi diawal, menjadi abjektif tentu tidak mudah.

Menjaga diriku untuk selalu berbuat adil, bahkan sejak dalam pikiran, membuatku tidak menaruh asumsi atas prilaku orang lain. Jika aku mendengar hal buruk, aku bertabayyun. Jika aku mendengar hal baik, aku mendoakan yang terbaik. Cara awal yang aku lakukan dalam upaya tetap berprilaku adil adalah dengan tidak membicarakan apapun yang tidak aku kuasai. Hendaknya semua yang keluar dari diri ini, baik kata-kata maupun prilaku, adalah buah dari pemikiran matang dan analisa. 

Sedih rasanya menyaksikan riuhnya konten yang disebarkan secara masif tanpa melalui proses analisa. Terkadang masih suka merasa ajaib melihat komentar beberapa orang yang mudah sekali menghakimi dan menelan mentah-mentah semua hoaks yang tersebar. Semoga rakyat Indonesia semakin terdidik, tidak mudah menghakimi dari data yang sengaja di potong demi penggiringan opini. Semoga Indonesia yang masyarakatnya lebih baik menghasilkan pemimpin yang gemilang pula.

Aku percaya bahwa pemimpin adalah cerminan orang yang ia pimpin. Siapapun nanti yang terpilih, itulah sepertinya gambaran masyarakat Indonesia saat ini. Semoga aku tetap adil dan tidak menghakimi siapapun, bahkan jika yang terpilih nanti itu bukan kandidat yang aku jagokan.

Selasa, 23 Januari 2024

Menikah

Jika aku ditanya tentang 1 hal yang selalu aku syukuri sampai saat ini adalah menikah. Aku sempat berada dalam fase malas berhubungan dengan siapapun. Aku malas dengan semua drama perkenalan, pendekatan, pernyataan cinta, perkelahian kecil hingga letupan-letupan emosi yang tidak perlu. Aku lelah dengan semua drama. 

Setelah menamatkan pendidikan di perguruan tinggi, aku langsung mendapat pekerjaan baik yang mampu menopang kehidupanku. Aku pun dikelilingi banyak teman yang menyenangkan namun tidak mencampuri wilayah privat. Ini menyenangkan, hingga akhirnya aku masuk di fase berikutnya.

Aku mungkin satu dari banyak orang yang hidup untuk hari ini. Aku menikmati hidupku, tidak dengan berfoya-foya, tapi dengan meresapi setiap peristiwa yang aku alami. Aku membagi hidupku dalam beberapa fase tergantung kondisi emosi yang aku rasakan saat itu. Setelah sempat patah hati yang berujung aku malas berhubungan dengan siapapun, akhirnya fase itu berlalu. Lewat bergitu saja tanpa aku sadar ternyata aku sudah berdamai dengan luka itu.

Aku menyukai quote “this too, shall pass” dan aku secara aktif mengaplikasikan quote ini. Sakitnya patah hati, tidak aku tutupi. Aku mengakui rasa sakit itu, membiarkan diriku larut dalam kesedihan, membiarkan siapapun berlalu saat aku tahu hatiku belum sepenuhnya pulih, dan merelakan hidup berjalan lambat tanpa tujuan. Aku menikmati hari berlalu tanpa rencana besok akan seperti apa.

Tidak ada luka yang abadi. Pun hidup nyaman, akan membuat kita berlanjut ke fase selanjutnya, bosan dengan rutinitas. Sejatinya kita memang butuh elemen kejutan di hidup ini. Setelah menikmati hidup sebagai lajang bebas ibukota aku mulai merasa hampa. Kehampaan yang setelah aku telisik dapat hilang dengan hadirnya sosok teman yang lebih intim. Tidak sekedar sahabat berbagi cerita, tapi seseorang yang dengannya aku dapat berbagi rencana. Tidak perlu mencari kemana-mana, aku cukup melakukan refleksi dan mulai melakukan seleksi terhadap beberapa laki-laki baik yang ada disekitarku. Aahh sok primadona rasanya.

Nanti aku ceritakan bagaimana akhirnya aku membuat suamiku akhirnya melamarku. Tentu seorang dina yang gengsinya setinggi bintang-bintang, menolak untuk mendekati lebih dulu. Aku hanya membuat dia tertarik dan menggiringnya untuk menikahiku. Eehm… jadi siapa yang lebih dulu suka? Tentu dia. Tapi siapa yang tebar pesona? Jelas saya orangnya.

Menariknya hingga detik ini setiap aku ditanya, apa hal yang paling aku syukuri dalam hidup. Dibanding semua pencapaian dan semua nikmat yang Allah berikan, menjadi istrinya adalah keputusan terbaik yang pernah aku buat. Alhamdulillah, dari semua pilihan, aku memilihnya. Dengan semua keterbatasanku, ia memilihku.

Minggu, 21 Januari 2024

Berdamai dengan kehilangan

Sejak mamak berpulang 27 tahun lalu, aku masih sering tenggelam dalam kerinduan dan lautan pertanyaan. Kenapa aku? Dari milyaran manusia, kenapa Allah membiarkanku untuk tumbuh tanpa ibu?

Tanpa mengesampingkan peran mama, bagaimanapun hatiku selalu menyimpan rasa iri setiap melihat interaksi ibu dan anak. Sebaik apapun mama, aku tidak bisa benar-benar terbuka padanya. Entah berasal dari karakterku yang tertutup, atau karena rasa sungkan yang kerap hadir saat didekatnya. Aku suka sekali melihat interaksi saat anak dengan leluasa cerita masalah pribadi pada ibunya. Cerita tentang mens pertama, cinta pertama, pacar pertama, dan segala hal tentang kewanitaan yang nyaman rasanya dibahas sesama wanita. Aku, tidak seleluasa itu.

Mama hadir di hidupku tidak lama setelah mamak berpulang. Namun, sebaik apapun ia memperlakukanku, hatiku masih sering bersedih dan larut dengan rasaku sendiri. Aku tidak nyaman untuk terlalu terbuka dengannya. Aku merasa berjarak.

Melewati masa puber dan menginjak masa dewasa. Aku bersyukur memilih lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Menghabiskan usia remaja di pondok pesantren dan lingkungan islami, membuatku merasa terlindungi, namun ruang kosong itu tetap ada. Aku lebih sering mengabaikan kekosongan itu, menjalani hari demi hari seolah tanpa masalah. Aku melewati banyak hari ibu dengan rasa kesal, melalui 7 juni, hari kelahiran mamak, dengan kesedihan, dan melewati 16 november, hari ia berpulang, dengan banyak air mata. Siklus yang melelahkan selama 20 tahun.

Hatiku mulai mampu berdamai saat putri kecilku lahir 20 tahun setelah mamak berpulang. Entah bagaimana, setiap aku melihat anakku, aku merasakan kasih sayang mamak. Aku perlahan berhenti menyalahkan keadaan. Aku memang tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengannya, tapi ku harap Allah memberiku usia yang cukup panjang agar aku mampu menemani gadis kecilku bertumbuh menjadi ibu yang lebih baik dariku.

Perasaan hampa itu hanya kita yang mengalami yang tau bagaimana rasanya. Berharap orang lain yang tidak memiliki cobaan yang sama untuk paham apa yang kita rasakan tentu bukan hal yang diperlukan. Jangan berharap pada manusia, bahkan hanya untuk sebuah empati. Mungkin beberapa melihatku dengan tatapan sedih karena aku ditinggal mamak sebelum aku benar-benar paham apa itu meninggal. Beberapa melihatku biasa saja karena mereka berpikir aku tidak kehilangan figur seorang ibu, toh ada mama yang menggantikan perannya.

Pada akhirnya, luka yang kita miliki hanya akan sembuh saat kita berani melihat luka itu dengan seksama. Perlahan setelah berani melihat ke dalam diri, aku menemukan sumber sakitku. Mengingkari perasaan tersisih, malah tidak membuatku mudah berbaur. Mengakui bahwa aku memang terluka dengan prilaku beberapa orang setelah mamak berpulang malah membuatku lebih ikhlas dan lebih mudah memaafkan. Termasuk memaafkan diri sendiri yang acapkali abai terhadap emosi yang dipendam.

Terima kasih sudah bertumbuh dan mau membuka diri dina.

Selasa, 16 Januari 2024

Adiksi

Adiksi itu menyeramkan yaa. Kebiasaan kita akan pola hidup yang teratur membuat kita terbiasa dengan sesuatu yang secara rutin kita lakukan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang menyukai repetisi. Kita mengulang apapun yang menyenangkan karena otak mendapat dopamin dari hal-hal menyenangkan yang kita lakukan. Semakin hal-hal tertentu terasa menyenangkan, semakin kita ketagihan untuk melakukan hal yang sama demi merasakan sensasi dopamin itu lagi.

Terkadang, kita tidak menyadari betapa kita menyukai suatu aktivitas sampai akhirnya kita merasa kosong saat tidak melakukannya lagi. Di titik ini aku merasa, sesusah itu ternyata menghentikan ketergantungan. Rasanya ada ruang hampa yang menyesakkan saat kita tidak melakukan hal-hal yang biasa dilakukan. Dopaminku hilang.

Aku tidak menyadari bagaimana awalnya aku bergantung sekali dengan internet. Koneksi yang bisa dengan mudah aku lakukan tidak kuanggal sebagai ketergantungan awalnya. Bertahun kemudian aku mulai gelisah saat berada di wilayah dengan jaringan internet yang buruk. Ada kegelisahan akut saat tiba-tiba koneksi terputus ditengah asyiknya berselancar di dunia maya. Bahkan, aku baru menyadari reaktif sekali diri ini rasanya saat baterai telepon genggam habis namun tidak ada tempat untuk mengisi ulang daya.

Adiksi, kepada apapun, tidak seharusnya terjadi jika kita cukup mawas diri dan berprilaku sewajarnya. Aku menyadari, belakangan aku seakan terikat sekali dengan gawai. Sebelum tidur, aku menyempatkan diri memeriksa perkembangan dunia maya. Begitu membuka mata, benda pertama yang ku cari adalah gawai. Sepanjang hari, aku berkali memeriksa apapun yang sedang ramai di media sosial dan tanpa aku sadari kebiasaan ini melelahkan. Aku mudah tersulut saat konektivitas terputus. Aku menjadi manusia dewasa yang bertingkah bagai bocah kehilangan boneka saat tidak melihat gawai di sekitar. Mengerikan.

Aku mulai takut dengan diriku sendiri. Terikat dengan jaringan selama 24 jam membuatku kehilangan waktu merenung dan berpikir. Seringkali saat ingin tahu membuncah, aku langsung mencari jawaban dari ponsel pintar alih-alih memanggil ingatan yang ada di kepala. Kemampuan analisaku menurun, seiring jarangnya aku berpikir. Berselancar di dalam jaringan membuatku mendapatkan jawaban dengan cepat, bahkan sebelum aku bertanya. Arus informasi yang teras, tak terbentung. Mataku seakan mendapat banyak pengetahuan baru, otakku merasa informasi itu terlalu cepat dan belum sempat berkontemplasi, sementara hatiku tetap merasa kosong karena tidak sempat meresapi informasi yang seolah semua penting namun cepat menguap.

Sepertinya aku harus mulai menata kembali jalur yang ingin aku tuju. Tenggelam di dalam dunia maya ini melenakan namun mematikan jika tidak dikendalikan. Aku yang mengatur hidupku, adiksi hanya membuatku menjadi hamba yang hampa. Berjalan dengan santai, menikmati menunggu, membaca alam, mengamati kendaraan lalu lalang, menarik diri dari hingar bingar terkadang diperlukan. Berada dalam kotak, membuat kita tidak pernah tau sebenarnya bentuk kotak itu seperti apa. Kita harus keluar untuk tau bentuknya. Tenggelam dalam dunia maya membuat kita tidak sadar ada dunia nyata yang lebih beragam dan indah jika kita berani keluar dan berjalan menjelajah.

Semangat keluar dari adiksi.

Selasa, 09 Januari 2024

Ambisi

Bagi beberapa orang yang baru mengenalku beberapa tahun terakhir, aku bagaikan orang tanpa ambisi yang menyia-nyiakan potensi. Seringkali orang kaget saat tau pendidikan terakhirku s2 dengan pekerjaanku sekarang yang “hanya” ibu rumah tangga. Guys, if u know me, u’ll know that i really know what exacly i want. To be honesty, today i got almost everything i want… almost…

Nope, kamu salah jika mengira hidupku tanpa ambisi. Tidak mungkin aku bisa cumlaude dan jadi lulusan termuda kala itu jika aku tidak punya target. Aku sangat tau apa yang ingin aku capai, hanya saja mungkin cita-citaku berbeda dengan kebanyakan orang. Itu saja.

Bagi kebanyakan orang, pendidikan formal yang tinggi digunakan untuk menunjang karier profesional diluar rumah. Bagiku yang pernah menjadi santri. Karier terbaik menurutku setelah menikah adalah menjadi ibu rumah tangga. Ga munafik laah, masih ada sisi diriku yang ingin berkarier secara profesional diluar rumah. Namun, saat berkontemplasi dan mengevaluasi goals yang ingin aku capai, keinginin itu aku kesampingkan. 

Aku bersyukur dapat memulai karier di usia yang relatif muda, langsung menikmati menjadi “mbak-mbak SCBD” dan bergaul dengan kalangan profesional. Hingga tiba saatku menikah, aku dapat mengikhaskan semuanya dan meninggalkan prospek karier yang mungkin bisa ku capai. Cukup sudah pengalamanku (yang sebenarnya baru seumur jagung) itu, untuk bahanku menjadi istri yang bisa memahami dinamika profesionalisme dalam karier yang mungkin suamiku hadapi dalam pekerjaannya.

Hari ini… 8,5 tahun setelah aku menyandang status sebagai istri. Aku semakin menyadari betapa Allah meridhoi setiap langkah. Aku mendapatkan keinginanku yang bisa ku upayakan dan yang hanya bisa aku doakan. 

Contohnya gimana sih??

Perihal harta. Sebagai milenial yang berasal dari kalangan menengah. Punya rumah dan kendaraan yang layak itu harus diupayakan. Tidak mudah. Ditambah keputusanku menjadi IRT, tentu beban finansial yang ditanggung suamiku tidak ringan. Walau penuh perjuangan, namun kami mampu mendapatkan semuanya. 

Perihal anak. Kita sebagai makhluk tidak bisa menjamin Allah pasti memberikan anak laki-laki dan perempuan walau kita berusaha mendapatkan keduanya. Tidak ada jaminan, hanya doa dan rahmatnya saja kami bisa mendapatkan keduanya. 


8,5 tahun ini, semakin terang rasanya bagaimana Allah mencintai dengan cara-Nya. Bagaimana Allah menguji kesabaran kami dengan hal-hal yang sanggup kami jalani. Bagaimana Allah merahmati kami untuk menguji kesyukuran kami. Apapun yang terjadi sejauh ini semua baik dengan cara-Nya. Alhamdulillah…

Minggu, 07 Januari 2024

1996 vs 2024

Beberapa hari ini ditengah semaraknya percakapan di sosial media, pembahasan soal kalender 1996 dan 2024 memiliki kesamaan yahg identik membuatku tertegun. Tahun ini, hari dan tanggalnya akan sama persis dengan tahun 1996. Tahun yang dulu sempat kuandaikan hilang dari kalender.

16 November 1996. Hari terakhir aku mencium wanita cantik yang ku panggil mamak. Kepergiannya membuat hidupku 180 derajat berbeda. Hidup jungkir balik, memaksaku dewasa sebelum waktunya. Andai aku diberi 1 kekuatan, aku ingin mengubah kalender dan meniadakan tahun 1996 dalam kalender hidupku.

Dalam angan seorang dina yang kala itu masih 7 tahun. Jika tahun 1996 tidak pernah ada, maka pernikahan kedua bapak juga mustahil ada. Aku akan tetap menjadi bungsu dan hidupku jauh dari kata “berjuang”. Banyak trauma di tahun-tahun awal setelah ibu berpulang. Tidak ada satu manusiapun yang aku percaya, cukup aku dan Tuhan yang tahu apa yang ada dikepala dan hatiku.

Butuh waktu bertahun, menjelajah berbagai kebudayaan, membuka diri secara perlahan, sampai akhirnya aku mampu sedikit demi sedikit menerima kenyataan dan mulai memaafkan. Memaafkan diri sendiri yang terlalu keras dan kadang menutupi luka yang belum sembuh. Memaafkan sekitar yang seolah tidak peduli. Memaafkan prasangkaku yang lebih suka menarik diri agar jauh dari atensi.

Tahun ini, 28 tahun kemudian. Lukaku yang bernanah, perlahan aku buka dan obati. Perih dan menyakitkan, namun itu lebih baik daripada menutupi dan membiarkan luka semakin menjalar kedalam. Aku mampu menghilangkan sakitnya walau bekas lukanya masih disana dan aku belum tau cara menghilangkan bekas luka yang sudah mengering.

Tiba-tiba berita soal kesamaan kalender 1996 dengan 2024 membuat jantungku sejenak berdetak lebih cepat, terasa hangat namun meninggalkan rasa tidak nyaman yang lama. Aku merasa 1996 tahun terburuk dihidupku, aku takut. Aku merasa amat tertekan.

Di sisi yang lain, aku berupaya mengambil sisi positif. Bagaimana caranya agar 2024 ini menutupi memory buruk yang aku lewati di 1996. Bagaimanapun, 1996 juga merupakan tahun terbaikku. Tahun dimana aku mulai ingat bagaimana orang tuaku merayakan ulang tahunku dengan memberikan tas ransel sekolah sebagai kado. Itu kali pertama aku ingat kado yang ku dapat. Sekaligus mungkin ulang tahun terbaik di hidupku. Setelahnya, ulang tahunku sudah sebagai anak piatu.

Aku khawatir sekaligus bersemangat menyabut tahun ini. Aku takut sekaligus penasaran tentang apa yang mungkin ku alami tahun ini. Jantungku tak berhenti berdebar setiap mengingat 1996. Menatap kalender tahun ini, membuatku berdebar tiap hari, entah mengapa setiap melihat kalender 2024, ingatanku kembali mengingat 1996. 

Kala itu, 7 januari 1996 kira-kira apa yang sedang aku lakukan yaa? 

Selasa, 02 Januari 2024

Pilihan

Hidup itu pilihan. Saat sebagian teman yang dulu sama-sama berjuang sekarang semakin jaya menapaki tangga karier, aku bahagia dengan pilihan sederhana yang ku buat. Menjadi istri dan ibu tanpa melakukan pekerjaan profesional. 


Timeline-nya penuh dengan foto berkeliling dunia. Timeline-ku penuh dengan wajah manis dari putri kecil dan jagoan kecilku. Menyenangkan sekali melihat laman media sosial temanku yang kini sepertinya sangat menikmati hidupnya. Aku turut bahagia untuknya. Namun itu bukan hidup yang aku pilih.


Ada masa dimana aku menyenangi statusku sebagai wanita pekerja. Berkarier dibidang yang sesuai dengan jurusan kuliah. Menghasilkan uang sendiri dan melakukan semua hal menarik yang ingin aku coba. Namun, ternyata setelah bertahun ku jalani, ternyata itu bukan hidup yang ku inginkan.


Keputusan terbaik yang pernah ku buat adalah memilih untuk menikah. Suamiku, sungguh menawan. Bukan dari tampang, tapi dari prilakunya. Aku menyukai semua hal yang ia lakukan, baik untukku, untuk dirinya sendiri maunpun untuk semua orang yang ada disekelilingnya.


Menyadari bahwa aku akan menghabiskan waktu dengan orang yang sama, awalnya terasa bagai ide yang aneh. Aku tidak yakin bisa bertahan bertahun-tahun dengan orang yang sama secara terus-menerus. Masih ada keraguan untuk membiarkan orang lain masuk dan menetap selamanya. Aku tidak pernah meragukannya, sebaliknya, aku ragu dengan kemampuanku berada dalam suatu relasi. Aku mudah meninggalkan apapun yang terasa kurang nyaman. Aku khawatir akan meninggalkannya saat ia tidak bisa memberikan kenyamanan itu.


Nyatanya, setelah lebih dari 8 tahun berumah tangga, aku malah semakin bersyukur memilihnya. Aku selalu merasa, menikahi suamiku ada investasi terbaik yang pernah aku buat. Tidak masalah ia akan membawaku kemana, bersamanya walau hanya dirumah, aku bahagia.


Hari ini, aku diingatkan tentang masa lalu. Masa dimana aku bebas melanglang buana tanpa mengkhawatirkan apapun. Namun, masa itu telah berlaku. Tidak ada sedikitpun keinginan mengulanginya. Aku memilih untuk hidup dengan mengkhawatirkan banyak hal. Aku tidak yakin bisa “ngebolang” sendirian tanpa khawatir anak-anakku, tanpa khawatir meninggalkan suamiku, tanpa khawatir ‘kondisi di rumah gimana ya?’. 


Ini pilihanku. Hidup menjadi istri yang selalu sedia mendukung suami, apapun yang ia pilih. Aku memilih untuk mempercayai semua pilihan yang ia buat. Aku pun memilih untuk menghabiskan seluruh waktuku untuk membersamai anak-anak dalam pertumbuhan mereka. Ini pilihan yang aku buat, dan aku bahagia. Alhamdulillah.