Jumat, 26 Januari 2024

Nakal

Aku seorang yang menyukai aturan. Bagiku, hidup yang terlalu bebas itu membingungan. Aku butuh batasan untuk bertumbuh dengan maksimak. Jika aku dibebaskan untuk melakukan apapun dalam hidup dan tidak ada satupun sanksi atau konsekuensi yang akan aku terima maka kemungkinan besar aku malah tidak akan melakukan apa-apa. Sedari awal aku bukanlah orang yang suka dibebaskan, aku suka diperlakukan baik saat aku taat dan diingatkan saat aku melanggar aturan. Ini hidup yang damai versiku.

Tapi…

Ada masa dimana aku menjadi sangat berani dan cenderung bodo amat. Aku tidak menimbang resiko dan sengaja melanggar aturan. Iya, masa SMA. Saat sebagian teman sebaya sibuk belajar demi bisa masuk IPA, aku yang sedari awal di plot buat jadi anak IPA malah mengajukan permohonan untuk pindah ke IPS. Entah keberanian dari mana tapi menurutku menjadi anak IPA membuatku tetap jadi anak manis yang taat aturan. Aku tertantang untuk belajar cuek dan tidak betanggung jawab.

Masa paling aku ingat dari 3 tahun masa SMA adalah saat kelas 3 IPS. Aku tetap tidak bisa jadi anak rebel macam di sinetron, aku tetap anak yang patuh aslinya tapi ada dorongan untuk nakal dan menguji kesabaran manusia dewasa di sekitarku. Kejadian yang kalau diingat lagi, sebenarnya lucu tapi memang tidak bertanggung jawab sih.

Hari itu, jadwal pertama pelajaran olahraga. Seperti biasa, sebelum memulai aktivitas kami pemanasan dan biasanya ada perintah untuk lari mengelilingi sekolah sebanyak 3x.

Aku sekolah di kabupaten di bagian selatan sumatera. Bentang alam masih asri, tanah kosong masih luas, pun sekolah kami memiliki lahan yang luasnya lebih dari 3 hektar. Mengelilingi sekolah tiap kali olahraga, bukan hal yang menyenangkan untukku yang malas gerak ini. 

Suatu waktu, tanpa berpikir panjang aku “membodohi” guru olahraga dengan berpura-pura berlari mengelilingi sekolah padahal aku memotong jalur melewati beberapa ruang kelas. Menurutku, yang kecerdasan rendah ini, guru olahraga tidak akan tahu dan kalaupun tahu tidak akan mempermasalahkan. Kenyataannya, aku salah besar. Guru olahraga ternyata merasa kami tidak menghargainya. Iya, bukan hanya aku, tapi kami. Aku memang berlari paling awal di depan untuk potong jalur, yang ternyata diikuti oleh sebagian teman-teman perempuan yang lain. Jika dihitung, sepertinya lebih dari setengah kelas jumlahnya.

Aku, yang berlari paling awal, tentu ditandai sebagai provokator. Walau beberapa teman yang lain juga berlari bersamaku dan mereka dengan sukarela mengikuti tapi hingga aku lulus sekolah sepertinya bapak itu tidak menyukaiku. Udahlah emang ga mahir di bidang olahraga apapun, banyak tingkah pula. Wajar sih kalo guru olahragaku memandangku sebelah mata.

Hari ini, 18 tahun kemudian aku masih mengingat kejadian hari itu. Betapa masa remajaku ada nakal-nakalnya juga. Kami harus buat surat perjanjian di atas materai demi meminta maaf. Sesuatu yang membuatku makin takut melanggar peraturan. Dulu, aku taat karena aku tidak mau dihukum. Sekarang, aku taat karena aku tahu saat aku melanggar, ada hak orang lain yang aku abaikan.

Aku bersyukur bertumbuh di lingkungan yang baik. Saat aku melakukan kesalahan, teguran langsung datang dan membuatku jera. Dadaku seringkali sesak saat menyaksikan seseorang berusia mapan tapi dengan bangga melanggar aturan. Aah teryata menjadi taat itu sulit ya, masih banyak yang tidak rela diberi batasan, malah sengaja menabrak aturan.

Astaghfirullah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar