Mari bicara lagi tentang jejak Dahlan Iskan di
PLN. Setelah memimpin BUMN terbesar itu selama satu tahun, namanya langsung
harum. Ia sukses memimpin 50.000-an karyawan PLN mengatasi krisis listrik yang
akut, yang selama lebih dari 60 tahun tak teratasi, hanya dalam setahun saja. Ia
berhasil memberikan stimulus ekonomi kepada pengusaha dan kalangan industri
1.600 MW sekali beri, setara Rp25 triliun. Ia bisa membuat anak buahnya berhemat
sampai Rp2 triliun, membuat transparan cara membeli barang dan jasa yang
sebelumnya tertutup, dan dengan berani mengundang KPK dan BPK untuk mengawasi
semua itu. Singkatnya, di pengujung tahun 2010 silam, pamornya sedang
naik.
Lalu, awal 2011, pria yang sejak Agustus 2007 hidup dengan lever baru dari
China itu membuat puisi lewat CEO Noted#22. Puisi bertajuk LUPAKAN…! itu bahkan
dibacakan karyawan PLN dari berbagai daerah, sebagaimana bisa diakses publik di
YouTube dengan kata kunci: “Dahlan Iskan Lupakan”. Itulah pesan unik sang CEO di
awal tahun.
Sesuai judulnya, puisi itu mengajak “rakyat PLN” untuk melupakan prestasi
mereka di tahun sebelumnya. Mengapa harus dilupakan? Karena masih banyak yang
harus diperbuat. Masih banyak gangguan penyulang. Masih banyak gangguan trafo.
Masih jutaan rumah yang harus terang. Masih banyak bocor yang harus ditambal.
Dominasi BBM masih seperti begundal memboroskan uang rakyat. Mengapa harus
dilupakan? Karena jasa dekat dengan ke-riaan, dan pujian bisa jadi racun
mematikan. Lupakan semua prestasi dan pujian itu. Karena TUHAN MAHA INGAT!
Hemat saya, inilah kiat sukses yang dahsyat. Melupakan prestasi yang telah
diraih dengan susah payah dan pujian dari handai tolan adalah cara meraih
kesuksesan yang berkelanjutan.
Mengapa penting “melupakan” prestasi dan pujian yang belum lama kita peroleh?
Untuk para karyawan PLN, Dahlan Iskan menyodorkan sedikitnya empat alasan kuat.
Pertama, karena prestasi dan perasaan berjasa besar sangat dekat dengan keriaan,
membuat orang jumawa, menjadi arogan, merasa diri hebat, lalu memandang rendah
orang lain serta memuja diri. Karyawan PLN, pegawai yang mencatatkan namanya
sebagai abdi negeri ini, harus dijauhkan dari sikap sombong dan merendahkan
pihak lain.
Kedua, karena pujian bisa jadi racun mematikan, membuat orang terlena dan
lupa diri, lupa tugas, lupa tujuan sesungguhnya, dan menjadi lengah. Dalam
sejarah Indonesia, puja-puji Harmoko dan kawan-kawannya dulu pernah membius
Presiden Soeharto untuk terus mencalonkan diri jadi presiden, padahal rakyat
sudah tak menghendakinya. Lalu dalam hitungan bulan, Harmoko berbalik mengatakan
bahwa rakyat menghendaki Pak Harto turun. Sebuah drama politik yang memberikan
banyak pelajaran. Karyawan PLN harus diingatkan akan bahaya maut macam itu.
Ketiga, karena TUHAN MAHA INGAT! Inilah tujuan yang sesungguhnya bagi semua
perbuatan baik. Inilah hasrat terbesar bagi mereka yang menjadikan kerjanya
sebagai ibadah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan ridho ilahi, diperkenan oleh
Tuhan Sang Pencipta. Tidak penting diingat manusia, tetapi amat penting diingat
Tuhan. Itulah yang ingin ditanamkan Dahlan Iskan kepada pegawai PLN.
Keempat, karena tugas dan tantangan berat berikutnya sudah di depan mata.
Penting mensyukuri rahmat dan nikmat yang ada. Menerima pengakuan dan pujian
dari berbagai pihak. Namun segera ingat bahwa masih banyak yang perlu
dikerjakan, masih panjang jalan yang harus ditempuh. Jangan berlama-lama
berpesta syukur. Secukupnya. Sewajarnya. Sepantasnya. Lalu bersiaplah untuk
mengalahkan tantangan berikutnya. Dalam kasus PLN, sejuta tantangan besar memang
masih menghadang di jalan.
Meski Dahlan Iskan memberikan alasan yang kuat untuk belajar “melupakan”
prestasi dan pujian, secara teknis masih ada persoalan yang mengganjal.
Bagaimana mungkin hal itu dilakukan? Bukankah para ahli neurosains menjelaskan
bahwa otak manusia (yang sehat, tentu) tidak bisa melupakan fakta masa lalu?
Bisakah Anda melupakan hari perkawinan yang membahagiakan Anda? Bisakah Anda
melupakan hari ketika Presiden Republik Indonesia mengundang Anda minum teh
bersamanya di Istana Negara? Bisakah Anda melupakan momen ketika Anda diminta
naik ke panggung yang megah, menerima penghargaan sebagai Marketer of The Year,
disaksikan khalayak ramai, dipotret dan direkam awak media cetak dan
elektronik?
Bukankah yang suka dengan tiba-tiba terserang “sakit lupa” itu adalah
pesakitan, penjahat-maling-rampok-penjarah terpelajar, yang sedang digiring
Komisi Pemberantasan Korupsi ke meja hijau? Bukankah mengingat-ingat prestasi
dan keberhasilan masa silam akan memompa kepercayaan diri yang lebih besar? Dan
bukankah yang seharusnya dilupakan itu adalah kepedihan dan duka lara masa lalu,
trauma-trauma kehidupan, agar tak menjadi benalu di pikiran?
Seorang kawan mengingatkan saya bahwa kita memang tidak bisa melupakan fakta
masa lalu, tetapi kita bisa mengubah makna dari kejadian masa lalu itu. Dan
agaknya itulah yang dianjurkan komandan Jawa Pos Group tersebut. Melupakan itu
artinya pada satu sisi “menetapkan hati untuk tidak lagi dipengaruhi oleh apa
yang sudah lewat “, dan pada saat yang bersamaan “mengarahkan diri kepada apa
yang di depan, kepada tujuan yang lebih besar yang belum tercapai”.
Jadi, anjuran untuk melupakan prestasi dan pujian masa lalu itu terkait ilmu
memaknai peristiwa. Jangan biarkan prestasi menyuburkan bibit-bibit kesombongan.
Jangan izinkan pujian memberikan pengaruh yang membuai, yang meninabobokan dan
menganiaya kewaspadaan. Bersyukur dan berterima kasihlah atas segala nikmat
kehidupan kemarin. Lalu lanjutkan langkahmu. Hidup belum berakhir dan sukses itu
pendek umurnya. Arahkan hati dan pikiran untuk menyongsong tugas baru,
menghadapi tantangan baru, menapaki hari baru.
Belajar melupakan, itu salah satu cara Dahlan Iskan menjadi orang besar!
___________________
ANDRIAS HAREFA, WTS
ANDRIAS HAREFA, WTS