Minggu, 21 Januari 2024

Berdamai dengan kehilangan

Sejak mamak berpulang 27 tahun lalu, aku masih sering tenggelam dalam kerinduan dan lautan pertanyaan. Kenapa aku? Dari milyaran manusia, kenapa Allah membiarkanku untuk tumbuh tanpa ibu?

Tanpa mengesampingkan peran mama, bagaimanapun hatiku selalu menyimpan rasa iri setiap melihat interaksi ibu dan anak. Sebaik apapun mama, aku tidak bisa benar-benar terbuka padanya. Entah berasal dari karakterku yang tertutup, atau karena rasa sungkan yang kerap hadir saat didekatnya. Aku suka sekali melihat interaksi saat anak dengan leluasa cerita masalah pribadi pada ibunya. Cerita tentang mens pertama, cinta pertama, pacar pertama, dan segala hal tentang kewanitaan yang nyaman rasanya dibahas sesama wanita. Aku, tidak seleluasa itu.

Mama hadir di hidupku tidak lama setelah mamak berpulang. Namun, sebaik apapun ia memperlakukanku, hatiku masih sering bersedih dan larut dengan rasaku sendiri. Aku tidak nyaman untuk terlalu terbuka dengannya. Aku merasa berjarak.

Melewati masa puber dan menginjak masa dewasa. Aku bersyukur memilih lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Menghabiskan usia remaja di pondok pesantren dan lingkungan islami, membuatku merasa terlindungi, namun ruang kosong itu tetap ada. Aku lebih sering mengabaikan kekosongan itu, menjalani hari demi hari seolah tanpa masalah. Aku melewati banyak hari ibu dengan rasa kesal, melalui 7 juni, hari kelahiran mamak, dengan kesedihan, dan melewati 16 november, hari ia berpulang, dengan banyak air mata. Siklus yang melelahkan selama 20 tahun.

Hatiku mulai mampu berdamai saat putri kecilku lahir 20 tahun setelah mamak berpulang. Entah bagaimana, setiap aku melihat anakku, aku merasakan kasih sayang mamak. Aku perlahan berhenti menyalahkan keadaan. Aku memang tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengannya, tapi ku harap Allah memberiku usia yang cukup panjang agar aku mampu menemani gadis kecilku bertumbuh menjadi ibu yang lebih baik dariku.

Perasaan hampa itu hanya kita yang mengalami yang tau bagaimana rasanya. Berharap orang lain yang tidak memiliki cobaan yang sama untuk paham apa yang kita rasakan tentu bukan hal yang diperlukan. Jangan berharap pada manusia, bahkan hanya untuk sebuah empati. Mungkin beberapa melihatku dengan tatapan sedih karena aku ditinggal mamak sebelum aku benar-benar paham apa itu meninggal. Beberapa melihatku biasa saja karena mereka berpikir aku tidak kehilangan figur seorang ibu, toh ada mama yang menggantikan perannya.

Pada akhirnya, luka yang kita miliki hanya akan sembuh saat kita berani melihat luka itu dengan seksama. Perlahan setelah berani melihat ke dalam diri, aku menemukan sumber sakitku. Mengingkari perasaan tersisih, malah tidak membuatku mudah berbaur. Mengakui bahwa aku memang terluka dengan prilaku beberapa orang setelah mamak berpulang malah membuatku lebih ikhlas dan lebih mudah memaafkan. Termasuk memaafkan diri sendiri yang acapkali abai terhadap emosi yang dipendam.

Terima kasih sudah bertumbuh dan mau membuka diri dina.