Belakangan linimasa media sosial dibanjiri informasi seputar calon presiden dan wakilnya, para legislatif yang sedang bertarung dan aneka kampanye yang melingkupinya. Masing-masing kandidat yang bertarung berlomba memenangkan hati pemilih dengan beragam cara. Linimasa kian riuh dengan adanya buzzer dan pemengaruh yang gencar “menjual” jagoannya. Para tim sukses yang resmi pun tidak ketinggal, selalu mengelu-elukan jagoannya seolah hanya kandidat yang ia dukung lah yang paling layak menjadi pemenangnya.
Pertarungan di dunia maya ini, lumayan menyita perhatianku. Arus kencang informasi di media sosial, memudahkanku mencari apapun tentang kandidat yang menurutku menarik. Sayangnya, masih ada saja pendukung yang menjelekkan lawannya, menjatuhkan yang lain untuk meninggikan kandidatnya. Gambar dan narasi yang ditampilkan terlihat sangat meyakinkan dan membuatku tergiring untuk mempercayai narasi itu. Kurasa aku bukan satu-satunya yang termakan hoaks.
Untungnya, aku dibesarkan untuk selalu mempertanyakan dalil atas setiap argumen. Sekilas beberapa narasi nampak meyakinkan, namun benarkah itu yang sebenarnya? Bukankah selalu ada sebab dari terjadinya sesuatu. Tidak ada yang serta merta ada di dunia ini, semua pasti ada latar belakangnya. Telisik dan perdalam semua narasi yang ditayangkan, analisa dan bersikap objektif.
Bersikap objektif ini ternyata menjadi sulit saat kita telah tergiring untuk menyukai A dan membenci B. Jika sudah melibatkan rasa, logika terkadang dikesampingkan. Aku kembali teringat satu quote dari Pramoedya Ananta Tour dalam novel Bumi Manusia-nya “Seorang yang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”. Iya, kita kaum terdidik hendaknya selalu mendahulukan akal sehat dan berpikir terbuka sedari awal. Jika kita sudah memiliki preferensi diawal, menjadi abjektif tentu tidak mudah.
Menjaga diriku untuk selalu berbuat adil, bahkan sejak dalam pikiran, membuatku tidak menaruh asumsi atas prilaku orang lain. Jika aku mendengar hal buruk, aku bertabayyun. Jika aku mendengar hal baik, aku mendoakan yang terbaik. Cara awal yang aku lakukan dalam upaya tetap berprilaku adil adalah dengan tidak membicarakan apapun yang tidak aku kuasai. Hendaknya semua yang keluar dari diri ini, baik kata-kata maupun prilaku, adalah buah dari pemikiran matang dan analisa.
Sedih rasanya menyaksikan riuhnya konten yang disebarkan secara masif tanpa melalui proses analisa. Terkadang masih suka merasa ajaib melihat komentar beberapa orang yang mudah sekali menghakimi dan menelan mentah-mentah semua hoaks yang tersebar. Semoga rakyat Indonesia semakin terdidik, tidak mudah menghakimi dari data yang sengaja di potong demi penggiringan opini. Semoga Indonesia yang masyarakatnya lebih baik menghasilkan pemimpin yang gemilang pula.
Aku percaya bahwa pemimpin adalah cerminan orang yang ia pimpin. Siapapun nanti yang terpilih, itulah sepertinya gambaran masyarakat Indonesia saat ini. Semoga aku tetap adil dan tidak menghakimi siapapun, bahkan jika yang terpilih nanti itu bukan kandidat yang aku jagokan.