Senin terakhir dibulan Juni.
Ingatanku kembali ke 14 tahun yang lalu. Kala kami, memasuki tahun kedua kuliah dan mulai menemukan teman yang satu frekuensi. Situasi kost putri yang kami diami, makin memperjelas konflik antar wanita yang kian hari kian runcing. Kost dua lantai yang kemudian dikenal dengan “anak atas” dan “anak bawah”. Kami, anak bawah yang cuma tau 3K. kost, kampus, kantin. Kontras dengan anak kamar atas yang lebih gaul dan hidupnya tidak sekedar kuliah.
Kita memang akan dikumpulkan dengan orang-orang dengan frekuensi yan sama. Mungkin kesamaan kami yang tidak gaul ini membuat kami akhirnya merasa lebih nyaman jika berada di tempat yang terpisah dari mereka yang suka hangout hingga larut malam. Seperti kebanyakan anak cupu lain yang menghindari konflik, kami tidak punya keberanian untuk konfrontasi atau sekedar menyampaikan keberatan saat merasa terganggu dengan keributan yang mereka buat hingga larut malam. Satu-satunya keberanian yang kami ambil adalah menghindari berada disekitar mereka. Kami menyingkir dan pindah kost.
Tentu saja tidak mudah mencari kost putri yang semua isinya satu frekuensi. Semakin banyak kepala, semakin banyak pemikiran, semakin mungkin ada konflik menghampiri. Demi meminimalisasi konflik, kami mencari kontrakan yang bisa dihuni sedikit orang. Hanya untuk kami sendiri. Yang kami yakini, masing-masing-masing-masing dari kami cukup saling mengenal dan bisa tinggal di bawah atap yang sama dengan damai.
Kami, yang awalnya tidak terlalu akrab. Akhirnya menjadi dekat karena kompleksitas kepribadian kami ternyata memang saling melengkapi. Aku, seorang koleris kuat, yang keras kepala namun tegas dan mampu mengambil keputusan dalam waktu singkat dan efisien. Suci, yang heboh dan selalu paling update diantara kami, yang paling tahu caranya bersenang-senang dan meredakan ketegangan karena sikapku yang terlalu serius. Lina yang detail dan perfeksionis. Sang anak baik dan selalu taat aturan. Sementara Eme, adalah orang tersabar di rumah. Orang pertama yang akan menjadi tempat curhat siapapun yang sedang gulana.
Kami pikir, keluar dari kost yang ramai dan pindah ke kontrakan berempat adalah keputusan terbaik untuk menghindari konflik. Ternyata ini akan menjadi keputusan yang memberikan kami banyak sekali pembelajaran diakhir usia belasan. Kami yang sebelumnya berusaha menghindar, justru dipaksa menghadapi, memahami dan menerima perbedaan. Ternyata, walau kita punya banyak persamaan, pada akhirnya kita individu yang berbeda. Justru perbedaan yang kita miliki yang membuat kita saling membutuhkan dan memberikan banyak warna dalam hidup. Kami yang sebelumnya hanya mengenal hitam putih abu-abu, semakin lama semakin bisa melihat warna lain yang lebih mencolok dan ternyata itu tidak apa-apa.
Pada akhirnya, perbedaan untuk diapresiasi dan diterima sebagaimana seharusnya warna itu. Walau mirip, warna donker itu bukan hitam. Warna putih tulang dan putih susu, sampai kapan pun tetap berbeda. Dan itu tidak apa-apa. Tidak lantas kita bisa mengkotakkan warna sesuai dengan apa yang kita mau. Justru kita harus belajar menerima warna apapun sebagaimana warna tersebut adanya.
menghindari masalah dan berdamai dengan masalah adalah dua hal berbeda. Yang satu hanya butuh denial, sementara yang lain butuh mengerti.
Kita memang akan dikumpulkan dengan orang-orang dengan frekuensi yan sama. Mungkin kesamaan kami yang tidak gaul ini membuat kami akhirnya merasa lebih nyaman jika berada di tempat yang terpisah dari mereka yang suka hangout hingga larut malam. Seperti kebanyakan anak cupu lain yang menghindari konflik, kami tidak punya keberanian untuk konfrontasi atau sekedar menyampaikan keberatan saat merasa terganggu dengan keributan yang mereka buat hingga larut malam. Satu-satunya keberanian yang kami ambil adalah menghindari berada disekitar mereka. Kami menyingkir dan pindah kost.
Tentu saja tidak mudah mencari kost putri yang semua isinya satu frekuensi. Semakin banyak kepala, semakin banyak pemikiran, semakin mungkin ada konflik menghampiri. Demi meminimalisasi konflik, kami mencari kontrakan yang bisa dihuni sedikit orang. Hanya untuk kami sendiri. Yang kami yakini, masing-masing-masing-masing dari kami cukup saling mengenal dan bisa tinggal di bawah atap yang sama dengan damai.
Kami, yang awalnya tidak terlalu akrab. Akhirnya menjadi dekat karena kompleksitas kepribadian kami ternyata memang saling melengkapi. Aku, seorang koleris kuat, yang keras kepala namun tegas dan mampu mengambil keputusan dalam waktu singkat dan efisien. Suci, yang heboh dan selalu paling update diantara kami, yang paling tahu caranya bersenang-senang dan meredakan ketegangan karena sikapku yang terlalu serius. Lina yang detail dan perfeksionis. Sang anak baik dan selalu taat aturan. Sementara Eme, adalah orang tersabar di rumah. Orang pertama yang akan menjadi tempat curhat siapapun yang sedang gulana.
Kami pikir, keluar dari kost yang ramai dan pindah ke kontrakan berempat adalah keputusan terbaik untuk menghindari konflik. Ternyata ini akan menjadi keputusan yang memberikan kami banyak sekali pembelajaran diakhir usia belasan. Kami yang sebelumnya berusaha menghindar, justru dipaksa menghadapi, memahami dan menerima perbedaan. Ternyata, walau kita punya banyak persamaan, pada akhirnya kita individu yang berbeda. Justru perbedaan yang kita miliki yang membuat kita saling membutuhkan dan memberikan banyak warna dalam hidup. Kami yang sebelumnya hanya mengenal hitam putih abu-abu, semakin lama semakin bisa melihat warna lain yang lebih mencolok dan ternyata itu tidak apa-apa.
Pada akhirnya, perbedaan untuk diapresiasi dan diterima sebagaimana seharusnya warna itu. Walau mirip, warna donker itu bukan hitam. Warna putih tulang dan putih susu, sampai kapan pun tetap berbeda. Dan itu tidak apa-apa. Tidak lantas kita bisa mengkotakkan warna sesuai dengan apa yang kita mau. Justru kita harus belajar menerima warna apapun sebagaimana warna tersebut adanya.
menghindari masalah dan berdamai dengan masalah adalah dua hal berbeda. Yang satu hanya butuh denial, sementara yang lain butuh mengerti.