Seorang mahasiswa S2 mengajak saya berdiskusi perihal buku-buku self-help Islami yang marak terbit pada satu dekade ini. Ia memerlukan bahan untuk penelitiannya. Saya menyambut baik diskusi ini karena terkait dengan industri yang saya
geluti–industri penerbitan buku.
Poin utama diskusi berpijak pada judul-judul yang marak digunakan. Pertama, judul-judul yang menggunakan bahasa Inggris: The Power of …., The True Power of …., The Secret of …., The Miracles of …. Bahkan, terkadang judul berbahasa Inggris itu disandingkan dengan kata bahasa Indonesia. Kedua, judul-judul menggunakan kosakata bahasa Indonesia dengan maknanya yang sama: Misteri …., Rahasia …., Keajaiban …., Mukjizat ….
Saya mengatakan ini sebuah kecenderungan yang lahir dari sebuah industri bernama self-help yang umumnya disokong kaum New Age. Kaum New Age menggunakan basis-basis sains, terutama kedokteran maupun
psikologi untuk mengguncang kesadaran banyak orang tentang sesuatu yang dinamakan potensi diri. Hal ini sempat saya ulas dalam buku yang saya tulis berjudul Muhammad saw Effect yang diterbitkan Tinta Medina.
Alhasil, munculnya buku-buku dengan judul sedikit bombastis soal sesuatu yang coba disadarkan: The Power bahwa adanya kekuatan tersembunyi; The True Power bahwa ada kekuatan sebenarnya yang tidak
diketahui; The Secret bahwa ada rahasia yang tersembunyi; The Miracles bahwa ada keajaiban-keajaiban yang mencengangkan. Kosakata judul yang seperti mantra ini sontak menyihir jutaan orang di dunia yang sedang menemukan masalah atau sedang melihat masalah pada diri mereka.
Industri self-help menemukan momentumnya pada saat krisis terjadi 1997-1998 di Indonesia, lalu juga menemukan momentumnya seiring maraknya bisnis MLM–saat ketika orang-orang Indonesia memerlukan
motivasi karena keterpurukan ekonomi. Momentum semakin menguat pasca-reformasi dengan bermunculannya para motivator, termasuk dari kalangan rohaniwan (ustadz, da’i, pendeta, dsb.) untuk menjalani hidup lebih baik dengan cara-cara menakjubkan. Indonesia akhirnya dibombardir dengan motivasi, pengembangan diri, termasuk ‘mitos-mitos’ self-help.
Bersamaan dengan diskusi ini, saya pun membaca buku terbaru terbitan B First (imprint Bentang) berjudul 50 Mitos Keliru dalam Psikologi. Buku ini memang memuat data dan fakta untuk mementahkan industri mitos yang dibangun para pengusung self-help maupun New Age. Kecenderungan Masuk ke Industri Mitos
Industri mitos memang menggiurkan karena mampu mendatangkan pengikut, menghimpun komunitas, dan akhirnya mendatangkan uang. Buku yang saya sebutkan tadi ditulis oleh Scott O. Lilienfeld, Steven Jay Lynn, John Ruscio, dan Barry L. Beyerstein. Buku ini memaparkan beberapa mitos penting yang kemudian menjadi industri dalam bentuk produk pelatihan, buku, VCD/DVD, maupun konsultasi, di antaranya:
memperdengarkan musik Mozart kepada bayi dapat meningkatkan kecerdasan (tidak terbukti);
ada orang yang cenderung menggunakan otak kiri dan lainnya menggunakan otak kanan dengan ciri tertentu (tidak benar);
hipnosis berguna untuk mengeluarkan kenangan akan kejadian yang terlupakan (tidak benar);
orang dapat mempelajari informasi baru, misalnya bahasa baru, saat tidur (tidak terbukti).
Informasi mitos ini sangat cepat menyebar di Indonesia mengambil kasus akhir-akhir ini juga tentang tes bakat melalui sidik jari atau pun aktivasi otak tengah pada anak-anak. Apa yang harus kita pahami bahwa
ini sudah menjadi industri berlisensi dan setiap pemegang lisensi harus berupaya membalikmodalkan lisensi yang dibayarkannya dalam angka ratusan juta hingga miliaran. Semua alasan berbau sains pasti
disertakan dan masyarakat awam yang memang mendambakan kehidupan lebih baik, terutama kesuksesan untuk anak-anak mereka pun mudah sekali terprovokasi.
Industri mitos ini memang tampil lebih digjaya karena kemajuan teknologi internet, termasuk social media. Kita mudah memercayai sesuatu hal karena sudah sering diucapkan dari mulut ke mulut atau
diposting lewat mulut digital. Kita menganggapnya sebagai kebenaran seperti halnya anggapan bahwa kebanyakan manusia hanya menggunakan 10% fungsi otaknya. Itulah kemudian muncul ungkapan bagaimana
membangkitkan raksasa dalam diri Anda ataupun kemampuan-kemampuan paranormal dengan mengaktifkan 90% fungsi otak yang tadi belum digunakan.
Mitos ini juga menimbulkan olok-olok bahwa otak orang Indonesia paling mahal karena paling jarang digunakan untuk berpikir. Padahal, penelitian para ahli otak (neurologi klinis dan neuropsikologi)
membuktikan bawah kehilangan kemampuan otak kurang dari 90% disebabkan penyakit atau kecelakaan dapat membahayakan. Jika orang Indonesia jarang menggunakan fungsi otaknya, kemungkinan semuanya sedang berada di ujung maut.
Saya mengutipkan apa yang ditulis Taufiq Rahman untuk menggambarkan industri mitos ini dalam sebuah situs sebagai berikut. “Untuk melihat betapa raksasanya industri self-help dan motivasional ini kita perlu
menengok ke tempat pertama di mana kebohongan tersebut diputar menjadi bisnis yang legal dan sahih, Amerika Serikat. Dalam buku Self-Help Inc.: Makeover Culture in American Life, penulis Micki McGee menemukan bahwa Amerika Serikat menghabiskan US$9.6 milliar pada tahun 2006 hanya untuk infomercial, seminar, dan pelatihan motivasional dalam rangka upaya perbaikan diri atau self-improvement. Di toko buku on-line terbesar di dunia, Amazon.com terdapat lebih dari 4.500 buku self-help dengan angka penjualan $700 juta pada tahun 2006. Buku Dale Carnegie yang legendaris dan menjadi cetak biru buku-buku motivasional How to Win Friends and Influence People—yang saya yakin ada di rak buku Mario Teguh—telah terjual 15 juta kopi sejak diterbitkan pertama kali pada tahun 1937. Buku self-help awal lain yang cukup legendaris Think and Grow Rich, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1937,
sudah terjual 20 juta kopi ketika sang pengarang Napoleon Hill meninggal pada tahun 1970. “ Industri Mitos Memengaruhi Masyarakat Islam
Dalam konteks masyarakat religi Islami yang dominan di Indonesia, industri mitos yang diperkenalkan kaum New Age ini sedikit banyak memengaruhi. Saya sendiri pernah melihat flier membahas buku The Secret yang dilakukan sebuah kelompok pengajian. Kecenderungan yang terjadi adalah mengait-ngaitkan mitos-mitos sains itu dengan kesamaan-kesamaan yang diuraikan di dalam al-Quran atau hadits.
Lalu, muncullah para penulis buku dadakan membawa popularitas mitos tadi ke dalam ranah Islam dengan juga menggunakan terminologi yang sama The Power, The True Power, ataupun The Secret. Saya sendiri
menyadari telah terlibat dalam industri pengemasan seperti ini (industri buku) sehingga kemudian saya menemukan kecenderungan menciptakan ibadah sebagai komoditas mencapai tujuan tertentu, sepertinya halnya kaya atau kemakmuran. Ada shalat, doa, shaum, maupun ibadah lain yang ditujukan untuk meraih kekayaan atau bahasa spiritualnya rezeki.
Ajaran Islam pun ditempatkan sebagai ajaran misterius yang harus digali dan ternyata memberikan kilatan pengetahuan yang mencengangkan. Pertanyaannya, sejak kapan Nabi Muhammad saw. menyembunyikan apa yang tersirat dalam al-Quran dan lalu tiba-tiba para penulis itu menemuka kilatan ide bahwa ada yang tersembunyi di dalam al-Quran sehingga muncul judul The Secret of Quran. Mungkin maksudnya memang memberikan sebuah efek bombastis yang umat Islam harus tahu–pola yang sama dilakukan oleh Rhonda Byrne dalam buku The Secret bahwa ternyata banyak di antara kita tidak mengetahui rahasia sukses (seperti yang terjadi pada Beethoven, Newton, Thomas Alva Edison, Einstein, dan lainnya) yang berusaha dilenyapkan berabad-abad.
Pola lain yang diperkenalkan self-help hingga kemudian dalam training penulisan saya sebut sebagai pola butiran adalah kecenderungan menggunakan judul berformat angka. Angka favorit adalah angka ganjil,
contohnya 7, 9, 13, 101, 501, hingga 1001. Para penulis Muslim pun kerap menggunakan angka ini misalnya merujuk pada arbain dengan mencantumkan angka 40 atau Asmaul Husna menggunakan 99.
Dalam angka ini sepengamatan saya memang ada dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah riset sehingga seorang penulis menemukan jumlah tertentu dalam konsep pengembangan diri, misalnya Steven Covey yang kemudian memopulerkan temuannya 7 Habits of Highly Effective People yang belakangan ditambah Covey menjadi 1 lagi dengan judul 8th Habits.
Pendekatan kedua yang menurut saya agak perlu berhati-hati menyikapinya jika angka ditampilkan para penulis tanpa riset maupun tanpa dasar yang mendukung. Misalnya, dalam soal sukses atau meraih
rezeki, sang penulis memaparkan 7 langkah maupun 8 langkah yang semuanya ada dalam setiap bab. Pembaca kritis akan bertanya apakah semua langkah itu begitu harmoni bisa tersusun dengan jumlah yang
sama, misalnya 5 Sikap yang Harus Anda Hindari untuk Menjadi Kaya; 5 Sikap yang Harus Anda Amalkan untuk Menjadi Kaya; 5 Amalan Penting Menjaring Rezeki; 5 Langkah Menumbuhkembangkan Bisnis yang Berkah. Lalu, sang penulis pun menghubungkan angka 5 tadi pada Rukun Islam.
Tentu hal ini saya anggap sebagai ide kreatif belaka, tetapi secara dasar keagamaan Islam tidak ada tuntunannya, kecuali yang benar datang dari Rasulullah saw. maupun yang bersumber asli dari al-Quran tentang jumlah butiran-butiran amalan maupun larangan. Konsep butiran angka memang ada dalam substansi al-Quran maupun Hadits, tetapi tidak terus kemudian kaum Muslim dapat menginterpretasikan sendiri angka-angka lain mengikuti tren maupun kecenderungan self-help. Para Nabi yang Tidak Mengaku Nabi
Self-help dan New Age memang melahirkan nabi-nabi baru dengan mengusung iming-iming terapi, motivasi, maupun pencerahan terhadap sikap hidup seseorang sehingga mengikuti alur sukses yang benar. Paham
law of attraction sangat dalam merasuki banyak orang, tidak terkecuali di Indonesia. Meskipun saya menulis seperti ini, tetaplah banyak penentangan dan penjelasan (seolah-olah) masuk akal dari para pendukungnya yang mementahkan anggapan saya ataupun buku semacam 50 Mitos Keliru dalam Psikologi–dan terutama di baliknya adalah bisnis pelatihan/tranining, penerbitan buku, dan CD/VCD/DVD yang bisa terancam karena kesadaran banyak orang.
Bahkan, law of attraction pun diakui dan dibawa ke ranah spiritual Islam dengan mengait-ngaitkannya pada sumber hadits Qudsi yang sangat populer: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Karena itu, seorang
Muslim pun dibenarkan mempraktikkan law of attraction dengan terapi berpikir positif, berbaik sangka sehingga akan datang kebaikan dalam hidup kita karena kita menghimpunnya di dalam pikiran.
Uniknya, ‘para nabi’ ini tidak mengaku nabi sehingga tidak dapat langsung kita tuding kesesatannya. Para nabi ini memiliki banyak pengikut dan mampu menggerakkan orang dengan kata-kata yang
menghipnosis. Salah satu ciri kental ‘para nabi’ ini adalah mengeluarkan begitu banyak kata-kata bermakna (quote) yang kadang dikutip dan dikumpulkan dari berbagai sumber, bahkan dari al-Quran maupun al-Hadits atau pepatah. Man jadda wa jadda adalah pepatah Arab yang telah menjadi ‘mantra’ luar biasa untuk memotivasi. Namun, di tangan ‘para nabi baru’, pepatah seperti itu dapat ditulis ulang
dengan format lain serta lebih menggugah. Di facebook atau twitter setiap hari kita dapat melihat lautan quote yang ditulis orang-orang yang mengaku dirinya motivator, terapis, ataupun master dalam bidang pengembangan diri. Dan kini kita menyadari bahwa hal ini adalah sebuah industri yang menyematkan angka rupiah tertentu.
Ketika saya menghubungkannya dengan literasi, tampaklah bangsa Indonesia yang kemampuan literasinya terus menurun lebih mudah terbuai dengan ungkapan-ungkapan ataupun kutipan-kutipan (quote) yang disusun dengan literasi menengah ataupun tinggi–meskipun kebanyakan orang kadang tidak memahami maknanya. Sebagai contoh saya bisa menulis seperti ini dengan gaya motivator: “Sukses adalah kegagalan yang tertunda sejenak. Kegagalan milik semua orang, namun kesadaran untuk memperbaiki kegagalan adalah sikap para pejuang. Semakin lemah tekad berjuang, semakin lama kegagalan itu bersemayam. Karena itu, pencari sukses adalah mereka yang tidak berlama-lama dengan masa lalu yang gagal.”
Sangat gampang bagi saya menciptakan quote-quote seperti itu setiap hari karena saya penulis dan saya dapat menggunakan begitu banyak sumber self-help. Saya tidak peduli Anda mau paham atau tidak. Namun,
quote-quote itu tidak lantas membuat saya bisa menyamai seorang Syekh Ibnu Atha’illah yang mampu menyusun kitab al-Hikam dengan bahasa yang kaya makna dan menghunjam dalam ke pikiran maupun perasaan.
***
Tulisan ini sekadar mengangkat wacana bahwa hidup kita kini dikepung industri mitos. Salah satu jalan menghindarkannya adalah mencari tahu dengan membaca. Namun, social media dan gadget saya tengarai membuat waktu membaca kita secara mendalam menjadi sempit. Satu hal yang dibahas dalam buku Scot O. Lilienfeld adalah tren membaca sifat orang berdasarkan tulisan tangannya (grafologi). Buku tentang hal ini pun laku keras dan sontak banyak orang yang menjadi ahli grafologi dapat memetakan sikap seseorang berdasarkan tulisan tangannya. Lalu, saya berpikir bagaimana kalau saya mengubah cara menulis saya–saya
menguasai teknik menulis kebanyakan dengan huruf lepas dan juga teknik menulis huruf sambung; boleh jadi kemudian saya memiliki dua sifat.
Lalu, mitos yang terkait dengan bacaan adalah bagaimana seseorang dapat mempraktikkan baca cepat. Ilmu atau teknik membaca cepat memang dikenal dengan nama speed reading melalui cara baca skimming dan
scanning. Namun, kemudian ilmu ini pun menjadi industri self-help yang bombastis ketika sebuah kursus menjanjikan kecepatan normal membaca 100-200 kata per menit dapat ditingkatkan menjadi 10.000 sampai 25.000 kata per menit. Para ahli kemudian menemukan bahwa tak satu pun kursus tersebut yang dapat meningkatkan kecepatan membaca seseorang tanpa menurunkan pemahaman mereka terhadap bacaan tersebut. Apalagi, kecepatan membaca maksimum bola mata manusia hanyalah 300 kata per
menit. Ya, sesuatu yang kedengaran seperti nyata dan bagus memang kemudian dapat lebih mudah diterima.
Saya hanya membutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk menghabiskan buku Scot O. Lilienfeld setebal 372 halaman untuk mendapatkan pemahaman, lalu menuliskan artikel dalam blog ini. Saya tidak mengikuti kursus
seperti itu, tetapi memang sudah melatihkan membaca cepat sejak minat saya begitu tinggi terhadap naskah dan pekerjaan saya sebagai editor. Saya dapat mengingat dengan baik bagian-bagian tertentu yang saya baca dan kemungkinan akan saya koneksi kembali untuk meyakinkan pemahaman saya. Dan rahasianya saya tidak membaca keseluruhan bagian; saya mencari pola dari sebuah buku ditampilkan dan kemudian juga membaca paling tidak satu atau dua paragraf awal untuk bagian yang kurang menarik bagi saya.
Ciri lain industri mitos atau industri self-help ini memang sangat mementingkan testimoni ataupun endorsement mereka yang pernah mendapatkan pengalaman mencoba sebuah produk. Entah saya harus memberikan testimoni apa karena saya pernah mengikuti sesi fire work. Saya tidak tahu apakah keberanian mengikuti sesi berjalan di atas bara api ini menjadikan saya orang yang berani mengambil risiko (risk taker). Namun, kemudian saya ketahui bahwa batu bara yang disulut itu adalah penghantar panas yang paling buruk dan kita tidak akan terluka ketika mencoba berjalan cepat melintasinya. Butuh waktu bagi kulit terluar telapak kaki untuk gosong.
Fenomena industri mitos ini memang menarik. Dan saya akui bahwa saya juga terseret ke dalamnya, termasuk menikmatinya melalui berbagai training motivasi dan mengembangkan diri. Lalu, datang kesadaran
karena membaca dan membaca sehingga saya pun tidak mudah menerima atau meloloskan buku motivasi ketika saya bekerja di penerbitan. Saya kerap menemukan ‘kelucuan-kelucuan’ terhadap wacana yang dibawa sang motivator ke dalam buku. Ada yang membawa wacana bahwa uang dapat diperoleh dari mana pun, tetapi naskahnya justru ditawarkan dengan sistem beli putus dan harga sangat murah kepada saya. Saya kira sang penulis sedang mempraktikkan bahwa uang dapat diperoleh dengan menulis naskah tentang mencari uang.
Kaya, sehat, populer, rendah hati, dan terpuji…. Mimpi hidup kita yang kemudian dijawab para kaum New Age dengan wacana self-help-nya. Anda mau mengikutinya? Terpulang kepada Anda sebagai makhluk yang berpikir.
:: catatan kreativitas Bambang Trim
© 2012 oleh Bambang Trim
Manistebu's Blog
Sumber http://guruhalilintar.blogspot.com/2012/02/industri-mitos.html
Poin utama diskusi berpijak pada judul-judul yang marak digunakan. Pertama, judul-judul yang menggunakan bahasa Inggris: The Power of …., The True Power of …., The Secret of …., The Miracles of …. Bahkan, terkadang judul berbahasa Inggris itu disandingkan dengan kata bahasa Indonesia. Kedua, judul-judul menggunakan kosakata bahasa Indonesia dengan maknanya yang sama: Misteri …., Rahasia …., Keajaiban …., Mukjizat ….
Saya mengatakan ini sebuah kecenderungan yang lahir dari sebuah industri bernama self-help yang umumnya disokong kaum New Age. Kaum New Age menggunakan basis-basis sains, terutama kedokteran maupun
psikologi untuk mengguncang kesadaran banyak orang tentang sesuatu yang dinamakan potensi diri. Hal ini sempat saya ulas dalam buku yang saya tulis berjudul Muhammad saw Effect yang diterbitkan Tinta Medina.
Alhasil, munculnya buku-buku dengan judul sedikit bombastis soal sesuatu yang coba disadarkan: The Power bahwa adanya kekuatan tersembunyi; The True Power bahwa ada kekuatan sebenarnya yang tidak
diketahui; The Secret bahwa ada rahasia yang tersembunyi; The Miracles bahwa ada keajaiban-keajaiban yang mencengangkan. Kosakata judul yang seperti mantra ini sontak menyihir jutaan orang di dunia yang sedang menemukan masalah atau sedang melihat masalah pada diri mereka.
Industri self-help menemukan momentumnya pada saat krisis terjadi 1997-1998 di Indonesia, lalu juga menemukan momentumnya seiring maraknya bisnis MLM–saat ketika orang-orang Indonesia memerlukan
motivasi karena keterpurukan ekonomi. Momentum semakin menguat pasca-reformasi dengan bermunculannya para motivator, termasuk dari kalangan rohaniwan (ustadz, da’i, pendeta, dsb.) untuk menjalani hidup lebih baik dengan cara-cara menakjubkan. Indonesia akhirnya dibombardir dengan motivasi, pengembangan diri, termasuk ‘mitos-mitos’ self-help.
Bersamaan dengan diskusi ini, saya pun membaca buku terbaru terbitan B First (imprint Bentang) berjudul 50 Mitos Keliru dalam Psikologi. Buku ini memang memuat data dan fakta untuk mementahkan industri mitos yang dibangun para pengusung self-help maupun New Age. Kecenderungan Masuk ke Industri Mitos
Industri mitos memang menggiurkan karena mampu mendatangkan pengikut, menghimpun komunitas, dan akhirnya mendatangkan uang. Buku yang saya sebutkan tadi ditulis oleh Scott O. Lilienfeld, Steven Jay Lynn, John Ruscio, dan Barry L. Beyerstein. Buku ini memaparkan beberapa mitos penting yang kemudian menjadi industri dalam bentuk produk pelatihan, buku, VCD/DVD, maupun konsultasi, di antaranya:
memperdengarkan musik Mozart kepada bayi dapat meningkatkan kecerdasan (tidak terbukti);
ada orang yang cenderung menggunakan otak kiri dan lainnya menggunakan otak kanan dengan ciri tertentu (tidak benar);
hipnosis berguna untuk mengeluarkan kenangan akan kejadian yang terlupakan (tidak benar);
orang dapat mempelajari informasi baru, misalnya bahasa baru, saat tidur (tidak terbukti).
Informasi mitos ini sangat cepat menyebar di Indonesia mengambil kasus akhir-akhir ini juga tentang tes bakat melalui sidik jari atau pun aktivasi otak tengah pada anak-anak. Apa yang harus kita pahami bahwa
ini sudah menjadi industri berlisensi dan setiap pemegang lisensi harus berupaya membalikmodalkan lisensi yang dibayarkannya dalam angka ratusan juta hingga miliaran. Semua alasan berbau sains pasti
disertakan dan masyarakat awam yang memang mendambakan kehidupan lebih baik, terutama kesuksesan untuk anak-anak mereka pun mudah sekali terprovokasi.
Industri mitos ini memang tampil lebih digjaya karena kemajuan teknologi internet, termasuk social media. Kita mudah memercayai sesuatu hal karena sudah sering diucapkan dari mulut ke mulut atau
diposting lewat mulut digital. Kita menganggapnya sebagai kebenaran seperti halnya anggapan bahwa kebanyakan manusia hanya menggunakan 10% fungsi otaknya. Itulah kemudian muncul ungkapan bagaimana
membangkitkan raksasa dalam diri Anda ataupun kemampuan-kemampuan paranormal dengan mengaktifkan 90% fungsi otak yang tadi belum digunakan.
Mitos ini juga menimbulkan olok-olok bahwa otak orang Indonesia paling mahal karena paling jarang digunakan untuk berpikir. Padahal, penelitian para ahli otak (neurologi klinis dan neuropsikologi)
membuktikan bawah kehilangan kemampuan otak kurang dari 90% disebabkan penyakit atau kecelakaan dapat membahayakan. Jika orang Indonesia jarang menggunakan fungsi otaknya, kemungkinan semuanya sedang berada di ujung maut.
Saya mengutipkan apa yang ditulis Taufiq Rahman untuk menggambarkan industri mitos ini dalam sebuah situs sebagai berikut. “Untuk melihat betapa raksasanya industri self-help dan motivasional ini kita perlu
menengok ke tempat pertama di mana kebohongan tersebut diputar menjadi bisnis yang legal dan sahih, Amerika Serikat. Dalam buku Self-Help Inc.: Makeover Culture in American Life, penulis Micki McGee menemukan bahwa Amerika Serikat menghabiskan US$9.6 milliar pada tahun 2006 hanya untuk infomercial, seminar, dan pelatihan motivasional dalam rangka upaya perbaikan diri atau self-improvement. Di toko buku on-line terbesar di dunia, Amazon.com terdapat lebih dari 4.500 buku self-help dengan angka penjualan $700 juta pada tahun 2006. Buku Dale Carnegie yang legendaris dan menjadi cetak biru buku-buku motivasional How to Win Friends and Influence People—yang saya yakin ada di rak buku Mario Teguh—telah terjual 15 juta kopi sejak diterbitkan pertama kali pada tahun 1937. Buku self-help awal lain yang cukup legendaris Think and Grow Rich, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1937,
sudah terjual 20 juta kopi ketika sang pengarang Napoleon Hill meninggal pada tahun 1970. “ Industri Mitos Memengaruhi Masyarakat Islam
Dalam konteks masyarakat religi Islami yang dominan di Indonesia, industri mitos yang diperkenalkan kaum New Age ini sedikit banyak memengaruhi. Saya sendiri pernah melihat flier membahas buku The Secret yang dilakukan sebuah kelompok pengajian. Kecenderungan yang terjadi adalah mengait-ngaitkan mitos-mitos sains itu dengan kesamaan-kesamaan yang diuraikan di dalam al-Quran atau hadits.
Lalu, muncullah para penulis buku dadakan membawa popularitas mitos tadi ke dalam ranah Islam dengan juga menggunakan terminologi yang sama The Power, The True Power, ataupun The Secret. Saya sendiri
menyadari telah terlibat dalam industri pengemasan seperti ini (industri buku) sehingga kemudian saya menemukan kecenderungan menciptakan ibadah sebagai komoditas mencapai tujuan tertentu, sepertinya halnya kaya atau kemakmuran. Ada shalat, doa, shaum, maupun ibadah lain yang ditujukan untuk meraih kekayaan atau bahasa spiritualnya rezeki.
Ajaran Islam pun ditempatkan sebagai ajaran misterius yang harus digali dan ternyata memberikan kilatan pengetahuan yang mencengangkan. Pertanyaannya, sejak kapan Nabi Muhammad saw. menyembunyikan apa yang tersirat dalam al-Quran dan lalu tiba-tiba para penulis itu menemuka kilatan ide bahwa ada yang tersembunyi di dalam al-Quran sehingga muncul judul The Secret of Quran. Mungkin maksudnya memang memberikan sebuah efek bombastis yang umat Islam harus tahu–pola yang sama dilakukan oleh Rhonda Byrne dalam buku The Secret bahwa ternyata banyak di antara kita tidak mengetahui rahasia sukses (seperti yang terjadi pada Beethoven, Newton, Thomas Alva Edison, Einstein, dan lainnya) yang berusaha dilenyapkan berabad-abad.
Pola lain yang diperkenalkan self-help hingga kemudian dalam training penulisan saya sebut sebagai pola butiran adalah kecenderungan menggunakan judul berformat angka. Angka favorit adalah angka ganjil,
contohnya 7, 9, 13, 101, 501, hingga 1001. Para penulis Muslim pun kerap menggunakan angka ini misalnya merujuk pada arbain dengan mencantumkan angka 40 atau Asmaul Husna menggunakan 99.
Dalam angka ini sepengamatan saya memang ada dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah riset sehingga seorang penulis menemukan jumlah tertentu dalam konsep pengembangan diri, misalnya Steven Covey yang kemudian memopulerkan temuannya 7 Habits of Highly Effective People yang belakangan ditambah Covey menjadi 1 lagi dengan judul 8th Habits.
Pendekatan kedua yang menurut saya agak perlu berhati-hati menyikapinya jika angka ditampilkan para penulis tanpa riset maupun tanpa dasar yang mendukung. Misalnya, dalam soal sukses atau meraih
rezeki, sang penulis memaparkan 7 langkah maupun 8 langkah yang semuanya ada dalam setiap bab. Pembaca kritis akan bertanya apakah semua langkah itu begitu harmoni bisa tersusun dengan jumlah yang
sama, misalnya 5 Sikap yang Harus Anda Hindari untuk Menjadi Kaya; 5 Sikap yang Harus Anda Amalkan untuk Menjadi Kaya; 5 Amalan Penting Menjaring Rezeki; 5 Langkah Menumbuhkembangkan Bisnis yang Berkah. Lalu, sang penulis pun menghubungkan angka 5 tadi pada Rukun Islam.
Tentu hal ini saya anggap sebagai ide kreatif belaka, tetapi secara dasar keagamaan Islam tidak ada tuntunannya, kecuali yang benar datang dari Rasulullah saw. maupun yang bersumber asli dari al-Quran tentang jumlah butiran-butiran amalan maupun larangan. Konsep butiran angka memang ada dalam substansi al-Quran maupun Hadits, tetapi tidak terus kemudian kaum Muslim dapat menginterpretasikan sendiri angka-angka lain mengikuti tren maupun kecenderungan self-help. Para Nabi yang Tidak Mengaku Nabi
Self-help dan New Age memang melahirkan nabi-nabi baru dengan mengusung iming-iming terapi, motivasi, maupun pencerahan terhadap sikap hidup seseorang sehingga mengikuti alur sukses yang benar. Paham
law of attraction sangat dalam merasuki banyak orang, tidak terkecuali di Indonesia. Meskipun saya menulis seperti ini, tetaplah banyak penentangan dan penjelasan (seolah-olah) masuk akal dari para pendukungnya yang mementahkan anggapan saya ataupun buku semacam 50 Mitos Keliru dalam Psikologi–dan terutama di baliknya adalah bisnis pelatihan/tranining, penerbitan buku, dan CD/VCD/DVD yang bisa terancam karena kesadaran banyak orang.
Bahkan, law of attraction pun diakui dan dibawa ke ranah spiritual Islam dengan mengait-ngaitkannya pada sumber hadits Qudsi yang sangat populer: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Karena itu, seorang
Muslim pun dibenarkan mempraktikkan law of attraction dengan terapi berpikir positif, berbaik sangka sehingga akan datang kebaikan dalam hidup kita karena kita menghimpunnya di dalam pikiran.
Uniknya, ‘para nabi’ ini tidak mengaku nabi sehingga tidak dapat langsung kita tuding kesesatannya. Para nabi ini memiliki banyak pengikut dan mampu menggerakkan orang dengan kata-kata yang
menghipnosis. Salah satu ciri kental ‘para nabi’ ini adalah mengeluarkan begitu banyak kata-kata bermakna (quote) yang kadang dikutip dan dikumpulkan dari berbagai sumber, bahkan dari al-Quran maupun al-Hadits atau pepatah. Man jadda wa jadda adalah pepatah Arab yang telah menjadi ‘mantra’ luar biasa untuk memotivasi. Namun, di tangan ‘para nabi baru’, pepatah seperti itu dapat ditulis ulang
dengan format lain serta lebih menggugah. Di facebook atau twitter setiap hari kita dapat melihat lautan quote yang ditulis orang-orang yang mengaku dirinya motivator, terapis, ataupun master dalam bidang pengembangan diri. Dan kini kita menyadari bahwa hal ini adalah sebuah industri yang menyematkan angka rupiah tertentu.
Ketika saya menghubungkannya dengan literasi, tampaklah bangsa Indonesia yang kemampuan literasinya terus menurun lebih mudah terbuai dengan ungkapan-ungkapan ataupun kutipan-kutipan (quote) yang disusun dengan literasi menengah ataupun tinggi–meskipun kebanyakan orang kadang tidak memahami maknanya. Sebagai contoh saya bisa menulis seperti ini dengan gaya motivator: “Sukses adalah kegagalan yang tertunda sejenak. Kegagalan milik semua orang, namun kesadaran untuk memperbaiki kegagalan adalah sikap para pejuang. Semakin lemah tekad berjuang, semakin lama kegagalan itu bersemayam. Karena itu, pencari sukses adalah mereka yang tidak berlama-lama dengan masa lalu yang gagal.”
Sangat gampang bagi saya menciptakan quote-quote seperti itu setiap hari karena saya penulis dan saya dapat menggunakan begitu banyak sumber self-help. Saya tidak peduli Anda mau paham atau tidak. Namun,
quote-quote itu tidak lantas membuat saya bisa menyamai seorang Syekh Ibnu Atha’illah yang mampu menyusun kitab al-Hikam dengan bahasa yang kaya makna dan menghunjam dalam ke pikiran maupun perasaan.
***
Tulisan ini sekadar mengangkat wacana bahwa hidup kita kini dikepung industri mitos. Salah satu jalan menghindarkannya adalah mencari tahu dengan membaca. Namun, social media dan gadget saya tengarai membuat waktu membaca kita secara mendalam menjadi sempit. Satu hal yang dibahas dalam buku Scot O. Lilienfeld adalah tren membaca sifat orang berdasarkan tulisan tangannya (grafologi). Buku tentang hal ini pun laku keras dan sontak banyak orang yang menjadi ahli grafologi dapat memetakan sikap seseorang berdasarkan tulisan tangannya. Lalu, saya berpikir bagaimana kalau saya mengubah cara menulis saya–saya
menguasai teknik menulis kebanyakan dengan huruf lepas dan juga teknik menulis huruf sambung; boleh jadi kemudian saya memiliki dua sifat.
Lalu, mitos yang terkait dengan bacaan adalah bagaimana seseorang dapat mempraktikkan baca cepat. Ilmu atau teknik membaca cepat memang dikenal dengan nama speed reading melalui cara baca skimming dan
scanning. Namun, kemudian ilmu ini pun menjadi industri self-help yang bombastis ketika sebuah kursus menjanjikan kecepatan normal membaca 100-200 kata per menit dapat ditingkatkan menjadi 10.000 sampai 25.000 kata per menit. Para ahli kemudian menemukan bahwa tak satu pun kursus tersebut yang dapat meningkatkan kecepatan membaca seseorang tanpa menurunkan pemahaman mereka terhadap bacaan tersebut. Apalagi, kecepatan membaca maksimum bola mata manusia hanyalah 300 kata per
menit. Ya, sesuatu yang kedengaran seperti nyata dan bagus memang kemudian dapat lebih mudah diterima.
Saya hanya membutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk menghabiskan buku Scot O. Lilienfeld setebal 372 halaman untuk mendapatkan pemahaman, lalu menuliskan artikel dalam blog ini. Saya tidak mengikuti kursus
seperti itu, tetapi memang sudah melatihkan membaca cepat sejak minat saya begitu tinggi terhadap naskah dan pekerjaan saya sebagai editor. Saya dapat mengingat dengan baik bagian-bagian tertentu yang saya baca dan kemungkinan akan saya koneksi kembali untuk meyakinkan pemahaman saya. Dan rahasianya saya tidak membaca keseluruhan bagian; saya mencari pola dari sebuah buku ditampilkan dan kemudian juga membaca paling tidak satu atau dua paragraf awal untuk bagian yang kurang menarik bagi saya.
Ciri lain industri mitos atau industri self-help ini memang sangat mementingkan testimoni ataupun endorsement mereka yang pernah mendapatkan pengalaman mencoba sebuah produk. Entah saya harus memberikan testimoni apa karena saya pernah mengikuti sesi fire work. Saya tidak tahu apakah keberanian mengikuti sesi berjalan di atas bara api ini menjadikan saya orang yang berani mengambil risiko (risk taker). Namun, kemudian saya ketahui bahwa batu bara yang disulut itu adalah penghantar panas yang paling buruk dan kita tidak akan terluka ketika mencoba berjalan cepat melintasinya. Butuh waktu bagi kulit terluar telapak kaki untuk gosong.
Fenomena industri mitos ini memang menarik. Dan saya akui bahwa saya juga terseret ke dalamnya, termasuk menikmatinya melalui berbagai training motivasi dan mengembangkan diri. Lalu, datang kesadaran
karena membaca dan membaca sehingga saya pun tidak mudah menerima atau meloloskan buku motivasi ketika saya bekerja di penerbitan. Saya kerap menemukan ‘kelucuan-kelucuan’ terhadap wacana yang dibawa sang motivator ke dalam buku. Ada yang membawa wacana bahwa uang dapat diperoleh dari mana pun, tetapi naskahnya justru ditawarkan dengan sistem beli putus dan harga sangat murah kepada saya. Saya kira sang penulis sedang mempraktikkan bahwa uang dapat diperoleh dengan menulis naskah tentang mencari uang.
Kaya, sehat, populer, rendah hati, dan terpuji…. Mimpi hidup kita yang kemudian dijawab para kaum New Age dengan wacana self-help-nya. Anda mau mengikutinya? Terpulang kepada Anda sebagai makhluk yang berpikir.
:: catatan kreativitas Bambang Trim
© 2012 oleh Bambang Trim
Manistebu's Blog
Sumber http://guruhalilintar.blogspot.com/2012/02/industri-mitos.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar