KEMULIAAN ISTIKHARAH
ALLAH SELALU MEMBERIKAN YANG
TERBAIK BUAT KITA. HANYA KITA SENDIRILAH YANG SERING SALAH MEMAKNAINYA. BAHKAN
KITA SERING LUPA, BAHWA ALLAH HANYA AKAN MENGUBAH NASIB SESEORANG BILA KITA MAU
MENGUBAHNYA. BEGITU PULA
URUSAN JODOH. WALAUPUN JODOH SUDAH DI DEPAN MATA, KALAU KITA TIDAK MAU
MENGUBAHNYA MENJADI PASANGAN KITA YANG SAH, TENTU SAJA TETAP TIDAK BERJODOH.
additional.
Bagi sebagian besar insan, indikator status ataupun tipe pekerjaan yang disandang menjadi tolok ukur
kebahagiaan dan masa depan cemerlang, memang benar, harta juga merupakan salah
satu aspek yang sangat penting, karena bisa menjadi sarana dan prasarana kita
beribadah kepada Allah. Hidup mulia dan bahagia. Siapa sih yang mau hidup
terlunta-lunta ? tidak ada satupun. Itulah impian semua insan. Hal tersebut
termasuk ke dalam kurve normal bila dilihat dari sebuah grafik. Salah satu
survey juga menyebutkan, katakanlah PNS,BUMN,TNI ataupun Dokter, bahkan
Pengusaha, merupakan profesi idaman hampir setiap insan dan juga merupakan
profesi yang dicari dalam hal biro jodoh untuk mencari pasangan hidupnya di
surat kabar. Satu lagi, rejeki di muka bumi ini 90 % berasal dari
aktifitas jual beli. Lumrah dan wajar.
BUKAN IMPIAN.
Mendeskripsikan
diri saya waktu itu adalah pemuda yang paling menyedihkan. Seorang lulusan
sarjana dari PTN ternama. Pemilik nama yang baik, Hermawan. Luntang-lantung
tanpa pekerjaan setelah di PHK dan tidak punya kekasih. Sungguh mengerikan.
Sesuatu tak bisa saya hindari. Ini bukan impian saya di usia yang sudah cukup
dewasa, tiga puluh tahun. Jangan ditanya apakah saya tidak berusaha. Uuuuhh..,
sudah lelah rasanya berusaha. Setelah di PHK, tentu saja fokus saya adalah
menemukan pekerjaan kembali. Sebelum di PHK, saya sempat berpikir untuk mencari
istri. Pencarian jodoh tersebut menguap saat saya jadi pengangguran.
Tidak tahunya, mencari pekerjaan sangat
tidak mudah. Apalagi di zaman penuh persaingan seperti ini. Saya
benar-benar ingin putus asa. Lebih enak jadi anak kecil. Apa-apa ditanggung
orangtua. Tidak perlu memikirkan rumitya masalah kehidupan.
Duuuhh,
jadi tidak dewasa, ya !
Sampai
hampir setahun saya mencari pekerjaan lagi, tapi tidak ada hasilnya. Jengkel
luar biasa dan makin tidak sabar. Walaupun berusaha terus, toh tidak kunjung
datang apa yang saya harapkan.
Sungguh
menderita.
Belum
lagi kalau waktunya bertemu kerabat dan tanya ini itu, huuuuhhh., ingin rasanya
saya bungkam mulut-mulut usil mereka. Sepertinya mereka tidak tahu saja kalau
saya sudah berusaha mati-matian. Soal jodoh, juga disinggung-singgung. Kalimat yang tidak masuk akal menurut
saya saat itu adalah : Menikah saja, biar masalah pekerjaan kamu terselesaikan.
Menikah itu bikin orang kaya !
Aduh…! Teori dari mana itu ? sendirian
saja , begini susahnya. Apalagi kalau sudah menikah. Lagipula, pacar belum ada.
Selain itu, zaman kamu akan jadi lebih besar, sahut ibu.
‘’ sudah saya pikir
sungguh-sungguh. Di sini tidak ada
yang saya tunggu.”
‘’ kamu mau pergi ke
mana ?. ‘’
‘’ Surabaya ‘’
‘’ ada tempat
tujuan ?’’
‘’sementara Wawan akan ke
tempat teman, lalu cari kos sendiri. ‘’
Ibu tampak prihatin. Dia
menepuk-nepuk bahu saya. ‘’ibu hanya bisa mendoakan kamu, Wan. ‘’
“ayah
juga, Wan. Mudah-mudahna di tempat baru kamu menemukan cita-citamu.”
“
terima kasih, Ayah, Ibu, mohon doa restunya.”
Begitulah,
saya meninggalkan tanah kelahiran yang sepanjang hidup telah begitu dekat
dengan saya. Pergi ke Surabaya
adalah keinginan yang muncul begitu saja. Mungkin juga karena ada seorang
sahabat disana. Semula niat saya hanya mengunjungi dia, jenuh di Jakarta. Sahabat saya
justru menyarankan, kenapa tidak mencoba mengadu nasib di Surabaya. Siapa tahu saja saya berjodoh
dengan kota
buaya tersebut.
USULAN SAHABAT.
Setelah
berbagi cerita dan kangen-kangenan, akhirnya saya menceritakan apa yang telah
terjadi pada saya. Untung saja, saya mengenali juga istrinya. Mereka bersedia
menampung saya selama tiga hari, sampai saya menemukan kos yang sesuai.
Walaupun pasangan suami istri itu bersikeras agar saya tinggal bersama mereka,
tapi saya tidak ingin merepotkan orang lain. Saya benar-benar ingin mandiri.
“
aku tidak melihat dimana kurangnya usahamu, Wan. Sepertinya kamu tidak
melibatkan Allah,” kata Tedi.
“
melibatkan Allah ?” tanya saya tak mengerti.
“
ya, kamu berusaha ke sana
kemari. Sedikit putus asa, menyalahkan keadaan, tak ada gunanya. Allah memiliki
rencana yang terbaik buat kita. Nah, karena kamu sepertinya tidak pernah mau
dialog sama dia, maka jalan kamu seperti limbung.”
“betul
, Mas Wan, mestinya Mas istikharah dulu sebelum melangkah.”
“istikharah
?, calon istri juga belum punya, Lis. “jawab saya atas perkataan Lilis, istri
Tedi.
Tedi
dan Lilis tertawa sejenak
“itulah
kesalahan yang sering terjadi atas istikharah, Wan.”
“betul.
Istikharah bukan hanya untuk memilih jodoh, tapi untuk segala urusan yang
mubah. Termasuk memilih pekerjaan, hendak domisili di satu kota tertentu,” tambah Lilis.
“
begitu ya ?”
“pasti
tidak pernah istikharah, ya?”
Saya
tertawa, “tidak pernah.”
“ya sudah, mumpung di sini, istikharah
dulu. Baru nanti melangkah. Semoga Allah memilihkan yang terbaik.’’
Walaupun tidak
terlalu saya pikirkan, saya menurutinya. Toh, shalat istikharah ringan saja. Dua
raka’at dan boleh dilakukan kapan saja. Tidak enak menolak nasihat baik.
Begitulah pikir saya.
Setelah
tiga hari, saya mendapatkan tempat kos yang sesuai. Walaupun kecil, tapi cukup
memadai. Sekarang, karena di tempat asing saya lebih siap untuk mencari
pekerjaan.
Toh,
di tempat asing bukan berarti lebih mudah. Saya sudah bertekad untuk terus
mencarinya sampai ketemu. Pasti ada jalan. Apalagi hati saya sekarang lebih
ringan. Mungkin karena tidak ada orang kiri kanan yang menanyakan tentang
status saya.
BAKSO MANIA
Sejak
kecil, saya sangat senang dengan bakso. Di tempat baru pun, saya berusaha
mencari tempat beli makan bakso yang enak. Uuuh.., yang sesuai selera saya adanya di tempat elite dan cukup mahal. Akhirnya
saya tidak bisa sering beli bakso karena tempatnya jauh dan juga cukup menguras
kantong. Sementara saya kan masih harus berhemat sampai saya mendapatkan
pekerjaan yang mapan.
Akhirnya, saya pun
terpaksa makan bakso-bakso yang mudah saya temukan di sekitar tempat tinggal
saya. Tapi ya begitulah. Rasanya tak pernah ada yang “nendang”. Semula saya
tahan, toh bikin sebel juga. Terpaksa saya membeli yang cukup mahal.
Sekali-kali
, saya membawanya pulang untuk meneliti. Walaupun laki-laki, saya cukup
familiar dengan urusan masak-memasak. Saya membongkar seluruh atribut bakso
yang saya beli. Kemudian mulai mereka-reka apa dan bagaimana cara memasaknya.
Yes
!!! tahu-tahu saja saya gembira setelah berhasil menemukan cara untuk memasak
bakso kesukaan saya. Luar biasa.
Paling tidak, menurut versi saya rasanya sudah “nendang”. Seharusnya
dengan semua biaya pembuatan, harga bakso enak tidak semahal yang saya beli.
Namanya
bakso ditempat elite tetap saja harganya beda. Biarpun sama rasa sama kualitas, beda tempat jelas bikin beda harga. Saya
senang dengan penemuan itu. Tak heran kalau saya membawakan sahabat saya, bakso
yang saya olah sendiri. Mereka senang sekali. Saya juga senang karena mereka
melakukan pengakuan jujur, bahwa bakso olahan saya enak.
“tidak
jualan saja, Wan ? pasti laku ! “ seru Lilis
Saya
tertawa, “mana ada bakat , Lis .“
“apa
salahnya dicoba !” timpal Tedi
“nantilah,
aku masih mau cari kerjaan, Ted. Paling tidak sesuai dengan bidang
pendidikanku.”
“
oke.”
PEREMPUAN CANTIK
Duuh,
tapi yang namanya pekerjaan makin dicari makin sulit mendapatkannya. Jadi, saya
tak pernah berani berpikir tentang pernikahan. Mesti kerja dulu lah, baru mencari
calon istri dan memikirkan pernikahan.
Eeh..
namanya hidup tak bisa direncanakan dan tak bisa diatur-atur. Allah memiliki
manajemen yang sering kali tak bisa kita pikirkan. Saya belum mendapatkan
pekerjaan, saya malah bertemu perempuan cantik yang menawan hati. Dia memiliki
rumah sendiri di dekat daerah kos saya. Katanya rumah itu bisa dibeli karena
pemiliknya berbaik hati, bersedia dibayari separuh dulu dan lainnya mencicil
tiap bulan. Wah, tentu perempuan ini sangat mapan.
Niat
saya untuk menemukan pekerjaan makin menjadi-jadi. Lebih-lebih setelah
mengetahui dari gelagatnya, perempuan ini --- Rahma, juga menaruh hati pada
saya. Duuuhh.., tapi mana berani saya
bilang cinta ? modal belum ada.
Bagaimana kalau langsung ditodong diajak
menikah ?
Sementara Rahma memiliki posisi pekerjaan
yang sangat baik di kantornya. Aduuh.., belum-belum saya sudah takut duluan.
Walaupun pada setiap orang saya malu menceritakan keadaan saya yang
sesungguhya, anehnya pada Rahma saya bisa terbuka. Termasuk mencari pekerjaan
yang tak kunjung berhasil sejak saya di PHK beberapa tahun silam.
Kalau usulan Tedi
dan Lilis tentang jualan bakso, langsung saya tolak. Kini saat Rahma yang
bicara, saya tak bisa langsung menolaknya.
“apa
salahnya dicoba, Wan ? kamu bisa
menggunakan halaman rumahku ! kan
aku kerja dari pagi sampai malam. Gratis sajalah. Asal kamu bersihkan.
Paling-paling kamu hanya perlu mendandani sedikit biar lebih layak sebagai
depot bakso.”
Saya
diam beberapa saat lamanya. Rahma juga tak memaksa.
“
itu hanya usulan. Siapa tahu jalan kamu. Bakso kamu enak sekali. Di sekitar
jalan ini kan
tidak ada yang jual bakso. Rumahku juga pinggir jalan. Tidak ada salahnya
dicoba”
Saya
pikir-pikir, kenapa juga tidak mencoba. Toh, ini di tempat asing. Tidak ada yang akan mentertawakan saya.
Sarjana kok jualan bakso. Lagipula, Rahma sudah berbaik hati menyediakan
tempatnya secara gratis. Bisa jadi tiu pertanda kebaikan.
“nanti
aku istikharah dulu. Eh, tapi aku tidak tahu tempat berbelanja yang murah.
Bisakah kamu membantu ?”
“betul,
istikharah saja dulu. Kalau mantap, aku tunjukkan pasar yang murah”
UJIAN DEMI UJIAN
Walaupun
kelihatannya mudah, memulai jualan bakso juga tidak mudah. Hari pertama
benar-benar sepi. Hanya ada lima
orang sepanjang siang hingga jam tujuh malam. Bahkan pernah, pada suatu hari,
benar-benar tidak ada pembeli sama sekali.
Rasanya
saya ingin menyerah saja. Kenapa hidup saya jadi begitu muram. Sementara
keinginan saya menikah semakin kuat saja. Duuuhh…., mudah-mudahan saja Rahma
belum punya calon. Semoga saja dia diperuntukkan Allah buat saya. Begitu selalu doa saya dalam hati. Lalu
datanglah Tedi dan Lilis. Keduanya tertawa lebar, ‘’ mentertawakan ‘’
saya.
‘’ ya ampun, Wan, mestinya
kamu kasih tahu kita dong ! kita kan bisa bawa orang untuk makan-makan di
sini ! kalau kelihatan ramai, pasti orang penasaran ingin lihat.’’
Begitulah, berkat bantuan
Tedi dan Lilis, depot bakso enak itu akhirnya perlahan mulai menampakkan
hasilnya. Dari sepuluh pelanggan menjadi dua puluh dan seterusnya. Setelah
genap setengah tahun, saya tak bisa lagi melayani sendirian. Harus menambah
satu pegawai.
Rahma tentu saja turut senang. Saya
jadi tak enak kalau menumpang terus. Keinginan saya untuk pindah dan mencari di
tempat di luar, ditentangnya keras-keras.
“buat apa kamu mesti pindah, Wan ? di sini
semuanya berjalan baik. Rumahku malahan
juga aman dant terawat. Sudahlah, kamu tenang saja usaha di situ. ‘’ kata
Rahma.
Saya terpaksa menurut.
Dipikir-pikir mencari tempat lain juga belum tentu selancar usaha di tempat
Rahma. Apalagi di daerah tersebut memang cukup dekat dengan perkantoran dan
kampus. Jadi, banyak orang yang kenal dengan bakso saya.
Sedikit banyak,
saya sudah mulai tenang dengan pekerjaan saya. Kehidupan saya perlahan-lahan
mulai membaik. Saya masih belum berani menyampaikan keadaan saya ini pada
orangtua. Khawatir mereka tidak setuju dengan pilihan saya. Saya tahu, mereka
sangat berharap anaknya bekerja di instansi swasta yang bonafid atau sekalian
jadi pegawai pemerintah.
Dari
berulangkalinya melamar dan tidak ada yang jebol juga, saya sudah tidak
berharap lagi bisa bekerja kantoran. Mungkin jalan hidup saya memang harus jadi
tukang bakso. Ya, tapi saya menikmati pekerjaan ini dan saya senang sekali.
Yang
namanya ujian bisa datang kapan saja. Saat saya sudah merasa mantap dengan
pekerjaan saya, tahu-tahu saja ada lamaran saya yang diterima. Saya diminta
datang untuk wawancara terakhir.
Sejujurnya
saya merasa surprised. Tak bertanya tanya, saya memutuskan untuk datang ke
wawancara tersebut. Di situ, selain tanya hal-hal yang umum juga sekaligus
negosiasi gaji. Tidak saya bayangkan.
Saya meminta waktu untuk menyetujui atau menolaknya.
Dalam
hati, saya benar-benar tergiur dengan pekerjaan itu. Kelihatannya elite dan
gajinya cukup besar. Toh,ada yang mengusik hati kecil saya. Seberapapun baiknya
kerja di tempat orang, sewaktu-waktu akan mungkin saja saya di PHK lagi. Itu
sudah cukup membuat saya sangat trauma.
PILIHAN HATI
“Wooow..
selamat dong ! apa yang perlu kamu risaukan ?” tanya Rahma. “bukankah usaha bakso
sudah jalan ? kamu tinggal menambah satu pegawai. Mengontrol tiap pagi,siang
dan malam. Apa masalahnya ?”
“apa
aku bisa mengerjakannya ?”
“bisa,
aku yakin kamu pasti bisa, Wan.”
Saya
memikirkannya berapa saat lamanya. Saya bisa saj memenuhi saran Rahma. Lalu,
sebentuk gambaran di benak muncul sekilas dengan cepat. Saya bisa menikah.
“apa
lagi yang kamu ragukan ?” usik Rahma beberapa saat kemudian.
Saya
tersenyum datar. Menatap Rahma sekilas.
“Rahma…
maukah kalau aku sudah pasti kerja…kamu…eh, menikah denganku ?” tanya
saya
Senyum
Rahma merekah. Jawaban yang tak saya duga muncul.
“sejak
kamu memutuskan mulai usaha bakso pun, aku sudah sangat mau menikah denganmu,
Wan…”
“kamu….!”
Seru saya nyaris tertahan dan tak percaya.
Senyum
Rahma masih merekah. “ aku ini perempuan, Wan. Masih terbelenggu etika timur.
Meskipun rasanya kalau tiap malam kamu menyelesaikan pekerjaanmu dan menutup
depot kamu, duuuh., inginku kamu tetap bersamaku.”
“
apa kamu tidak takut kalau usahaku
rugi ?”
“Wan,
Wan…. Kamu itu tidak mengerti ya,
filosofinya orang menikah ? kalau miskin, Allah akan membuatnya kaya. Lagipula,
awal-awal menikah aku tak akan keberatan menopang suamiku.” Katanya
pelan dan sangat santun.
“Duuuh…
Rahma betapa banyak kita rugi waktu,” kata saya.
“jadi…?”
“
ya …sebaiknya kita saling mengenal keluarga masing-masing dan menikah.”
“kapan
?”
“secepatnya.”
“kamu
tetap mau kerja ?”
“kukira
usulmu ada bagusnya. Aku masih menjalani uji cobanya tiga bulan. Nanti aku
lihat, mau terus atau total mengurusi bakso.”
“alhamdulillah.”
Senyum
Rahma merekah. Jujur saja, saya tidak tahu apa yang mesti saya katakan saat
itu. Seandainya saja tahu jalan hidup saya di kota
ini, sudah sejak lama saya meninggalkan Jakarta.
Ternyata benar, istikharah membawa kemudahan dan kemuliaan.
Sayang,
walaupun sudah jelas begitu banyak manfaatnya. Tidak banyak orang mau
menjalankannya. Padahal, shalat istikharah sangat mudah dan bisa kapan saja
dilakukan. Rakaatnya pun tidak berat. Minimal dua rakaat.
Dalam
hati saya berjanji , apa saja yang memerlukan pertimbangan akan selaku
dikonsultasikannya pada Allah. Dialah yang mengetahui apa saja yang
tersembunyi. Lagipula, sesuatu yang sangat kita harapkan dan inginkan, bisa
jadi tidak baik buat kita.
Alhamdulillah
pula, urusan segalam macam pernikahan saya dengan Rahma mudah dan dilancarkan
Allah. Hanya dua bulan sejak kami memutuskan menikah, acara akad dan resepsi
terlaksana. Semuanya begitu mudah dan lancar.
Tidak
pernah saya pikirkan., bahwa jalan rejeki dan jodoh saya bisa berjalan melalui
satu orang. Rahma. Saya hanya bisa memanjatkan puji syukur yang tak terkira
atas kemurahan Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar