Kamis, 31 Mei 2012

Kemuliaan Istikharah

KEMULIAAN ISTIKHARAH

ALLAH SELALU MEMBERIKAN YANG TERBAIK BUAT KITA. HANYA KITA SENDIRILAH YANG SERING SALAH MEMAKNAINYA. BAHKAN KITA SERING LUPA, BAHWA ALLAH HANYA AKAN MENGUBAH NASIB SESEORANG BILA KITA MAU MENGUBAHNYA. BEGITU PULA URUSAN JODOH. WALAUPUN JODOH SUDAH DI DEPAN MATA, KALAU KITA TIDAK MAU MENGUBAHNYA MENJADI PASANGAN KITA YANG SAH, TENTU SAJA TETAP TIDAK BERJODOH.


additional.
Bagi sebagian besar insan, indikator status ataupun tipe  pekerjaan yang disandang menjadi tolok ukur kebahagiaan dan masa depan cemerlang, memang benar, harta juga merupakan salah satu aspek yang sangat penting, karena bisa menjadi sarana dan prasarana kita beribadah kepada Allah. Hidup mulia dan bahagia. Siapa sih yang mau hidup terlunta-lunta ? tidak ada satupun. Itulah impian semua insan. Hal tersebut termasuk ke dalam kurve normal bila dilihat dari sebuah grafik. Salah satu survey juga menyebutkan, katakanlah PNS,BUMN,TNI ataupun Dokter, bahkan Pengusaha, merupakan profesi idaman hampir setiap insan dan juga merupakan profesi yang dicari dalam hal biro jodoh untuk mencari pasangan hidupnya di surat kabar. Satu lagi, rejeki di muka bumi ini 90 % berasal dari aktifitas  jual beli. Lumrah dan wajar.

BUKAN IMPIAN.
            Mendeskripsikan diri saya waktu itu adalah pemuda yang paling menyedihkan. Seorang lulusan sarjana dari PTN ternama. Pemilik nama yang baik, Hermawan. Luntang-lantung tanpa pekerjaan setelah di PHK dan tidak punya kekasih. Sungguh mengerikan. Sesuatu tak bisa saya hindari. Ini bukan impian saya di usia yang sudah cukup dewasa, tiga puluh tahun. Jangan ditanya apakah saya tidak berusaha. Uuuuhh.., sudah lelah rasanya berusaha. Setelah di PHK, tentu saja fokus saya adalah menemukan pekerjaan kembali. Sebelum di PHK, saya sempat berpikir untuk mencari istri. Pencarian jodoh tersebut menguap saat saya jadi pengangguran.
            Tidak tahunya, mencari pekerjaan sangat tidak mudah. Apalagi di zaman penuh persaingan seperti ini. Saya benar-benar ingin putus asa. Lebih enak jadi anak kecil. Apa-apa ditanggung orangtua. Tidak perlu memikirkan rumitya masalah kehidupan.
            Duuuhh, jadi tidak dewasa, ya !
            Sampai hampir setahun saya mencari pekerjaan lagi, tapi tidak ada hasilnya. Jengkel luar biasa dan makin tidak sabar. Walaupun berusaha terus, toh tidak kunjung datang apa yang saya harapkan.
            Sungguh menderita.
            Belum lagi kalau waktunya bertemu kerabat dan tanya ini itu, huuuuhhh., ingin rasanya saya bungkam mulut-mulut usil mereka. Sepertinya mereka tidak tahu saja kalau saya sudah berusaha mati-matian. Soal jodoh, juga disinggung-singgung. Kalimat yang tidak masuk akal menurut saya saat itu adalah : Menikah saja, biar masalah pekerjaan kamu terselesaikan. Menikah itu bikin orang kaya !
            Aduh…! Teori dari mana itu ? sendirian saja , begini susahnya. Apalagi kalau sudah menikah. Lagipula, pacar belum ada. Selain itu, zaman kamu akan jadi lebih besar, sahut ibu.
            ‘’ sudah saya pikir sungguh-sungguh. Di sini tidak ada yang saya tunggu.”
            ‘’ kamu mau pergi ke mana ?. ‘’
            ‘’ Surabaya ‘’
            ‘’ ada tempat tujuan ?’’
            ‘’sementara Wawan akan ke tempat teman, lalu cari kos sendiri. ‘’
            Ibu tampak prihatin. Dia menepuk-nepuk bahu saya. ‘’ibu hanya bisa mendoakan kamu, Wan. ‘’
            “ayah juga, Wan. Mudah-mudahna di tempat baru kamu menemukan cita-citamu.”
            “ terima kasih, Ayah, Ibu, mohon doa restunya.”
            Begitulah, saya meninggalkan tanah kelahiran yang sepanjang hidup telah begitu dekat dengan saya. Pergi ke Surabaya adalah keinginan yang muncul begitu saja. Mungkin juga karena ada seorang sahabat disana. Semula niat saya hanya mengunjungi dia, jenuh di Jakarta. Sahabat saya justru menyarankan, kenapa tidak mencoba mengadu nasib di Surabaya. Siapa tahu saja saya berjodoh dengan kota buaya tersebut.




USULAN SAHABAT.
            Setelah berbagi cerita dan kangen-kangenan, akhirnya saya menceritakan apa yang telah terjadi pada saya. Untung saja, saya mengenali juga istrinya. Mereka bersedia menampung saya selama tiga hari, sampai saya menemukan kos yang sesuai. Walaupun pasangan suami istri itu bersikeras agar saya tinggal bersama mereka, tapi saya tidak ingin merepotkan orang lain. Saya benar-benar ingin mandiri.
            “ aku tidak melihat dimana kurangnya usahamu, Wan. Sepertinya kamu tidak melibatkan Allah,” kata Tedi.
            “ melibatkan Allah ?” tanya saya tak mengerti.
            “ ya, kamu berusaha ke sana kemari. Sedikit putus asa, menyalahkan keadaan, tak ada gunanya. Allah memiliki rencana yang terbaik buat kita. Nah, karena kamu sepertinya tidak pernah mau dialog sama dia, maka jalan kamu seperti limbung.”
            “betul , Mas Wan, mestinya Mas istikharah dulu sebelum melangkah.”
            “istikharah ?, calon istri juga belum punya, Lis. “jawab saya atas perkataan Lilis, istri Tedi.
            Tedi dan Lilis tertawa sejenak
            “itulah kesalahan yang sering terjadi atas istikharah, Wan.”
            “betul. Istikharah bukan hanya untuk memilih jodoh, tapi untuk segala urusan yang mubah. Termasuk memilih pekerjaan, hendak domisili di satu kota tertentu,” tambah Lilis.
            “ begitu ya ?”
            “pasti tidak pernah istikharah, ya?”
            Saya tertawa, “tidak pernah.”
            “ya sudah, mumpung di sini, istikharah dulu. Baru nanti melangkah. Semoga Allah memilihkan yang terbaik.’’
            Walaupun tidak terlalu saya pikirkan, saya menurutinya. Toh, shalat istikharah ringan saja. Dua raka’at dan boleh dilakukan kapan saja. Tidak enak menolak nasihat baik. Begitulah pikir saya.
            Setelah tiga hari, saya mendapatkan tempat kos yang sesuai. Walaupun kecil, tapi cukup memadai. Sekarang, karena di tempat asing saya lebih siap untuk mencari pekerjaan.
            Toh, di tempat asing bukan berarti lebih mudah. Saya sudah bertekad untuk terus mencarinya sampai ketemu. Pasti ada jalan. Apalagi hati saya sekarang lebih ringan. Mungkin karena tidak ada orang kiri kanan yang menanyakan tentang status saya.

BAKSO MANIA

            Sejak kecil, saya sangat senang dengan bakso. Di tempat baru pun, saya berusaha mencari tempat beli makan bakso yang enak. Uuuh.., yang sesuai selera saya adanya di tempat elite dan cukup mahal. Akhirnya saya tidak bisa sering beli bakso karena tempatnya jauh dan juga cukup menguras kantong. Sementara saya kan masih harus berhemat sampai saya mendapatkan pekerjaan yang mapan.
            Akhirnya, saya pun terpaksa makan bakso-bakso yang mudah saya temukan di sekitar tempat tinggal saya. Tapi ya begitulah. Rasanya tak pernah ada yang “nendang”. Semula saya tahan, toh bikin sebel juga. Terpaksa saya membeli yang cukup mahal.
            Sekali-kali , saya membawanya pulang untuk meneliti. Walaupun laki-laki, saya cukup familiar dengan urusan masak-memasak. Saya membongkar seluruh atribut bakso yang saya beli. Kemudian mulai mereka-reka apa dan bagaimana cara memasaknya.
            Yes !!! tahu-tahu saja saya gembira setelah berhasil menemukan cara untuk memasak bakso kesukaan saya. Luar biasa. Paling tidak, menurut versi saya rasanya sudah “nendang”. Seharusnya dengan semua biaya pembuatan, harga bakso enak tidak semahal yang saya beli.
            Namanya bakso ditempat elite tetap saja harganya beda. Biarpun sama rasa sama kualitas, beda tempat jelas bikin beda harga. Saya senang dengan penemuan itu. Tak heran kalau saya membawakan sahabat saya, bakso yang saya olah sendiri. Mereka senang sekali. Saya juga senang karena mereka melakukan pengakuan jujur, bahwa bakso olahan saya enak.
            “tidak jualan saja, Wan ? pasti laku ! “ seru Lilis
            Saya tertawa, “mana ada bakat , Lis .“
            “apa salahnya dicoba !” timpal Tedi
            “nantilah, aku masih mau cari kerjaan, Ted. Paling tidak sesuai dengan bidang pendidikanku.”
            “ oke.”



PEREMPUAN CANTIK

            Duuh, tapi yang namanya pekerjaan makin dicari makin sulit mendapatkannya. Jadi, saya tak pernah berani berpikir tentang pernikahan. Mesti kerja dulu lah, baru mencari calon istri dan memikirkan pernikahan.
            Eeh.. namanya hidup tak bisa direncanakan dan tak bisa diatur-atur. Allah memiliki manajemen yang sering kali tak bisa kita pikirkan. Saya belum mendapatkan pekerjaan, saya malah bertemu perempuan cantik yang menawan hati. Dia memiliki rumah sendiri di dekat daerah kos saya. Katanya rumah itu bisa dibeli karena pemiliknya berbaik hati, bersedia dibayari separuh dulu dan lainnya mencicil tiap bulan. Wah, tentu perempuan ini sangat mapan.
            Niat saya untuk menemukan pekerjaan makin menjadi-jadi. Lebih-lebih setelah mengetahui dari gelagatnya, perempuan ini --- Rahma, juga menaruh hati pada saya. Duuuhh.., tapi mana berani saya bilang cinta ? modal belum ada.
            Bagaimana kalau langsung ditodong diajak menikah ?
            Sementara Rahma memiliki posisi pekerjaan yang sangat baik di kantornya. Aduuh.., belum-belum saya sudah takut duluan. Walaupun pada setiap orang saya malu menceritakan keadaan saya yang sesungguhya, anehnya pada Rahma saya bisa terbuka. Termasuk mencari pekerjaan yang tak kunjung berhasil sejak saya di PHK beberapa tahun silam.
            Kalau usulan Tedi dan Lilis tentang jualan bakso, langsung saya tolak. Kini saat Rahma yang bicara, saya tak bisa langsung menolaknya.
            “apa salahnya dicoba,   Wan ? kamu bisa menggunakan halaman rumahku ! kan aku kerja dari pagi sampai malam. Gratis sajalah. Asal kamu bersihkan. Paling-paling kamu hanya perlu mendandani sedikit biar lebih layak sebagai depot bakso.”
            Saya diam beberapa saat lamanya. Rahma juga tak memaksa.
            “ itu hanya usulan. Siapa tahu jalan kamu. Bakso kamu enak sekali. Di sekitar jalan ini kan tidak ada yang jual bakso. Rumahku juga pinggir jalan. Tidak ada salahnya dicoba”
            Saya pikir-pikir, kenapa juga tidak mencoba. Toh, ini di tempat asing. Tidak ada yang akan mentertawakan saya. Sarjana kok jualan bakso. Lagipula, Rahma sudah berbaik hati menyediakan tempatnya secara gratis. Bisa jadi tiu pertanda kebaikan.
            “nanti aku istikharah dulu. Eh, tapi aku tidak tahu tempat berbelanja yang murah. Bisakah kamu membantu ?”
            “betul, istikharah saja dulu. Kalau mantap, aku tunjukkan pasar yang murah”

UJIAN DEMI UJIAN

            Walaupun kelihatannya mudah, memulai jualan bakso juga tidak mudah. Hari pertama benar-benar sepi. Hanya ada lima orang sepanjang siang hingga jam tujuh malam. Bahkan pernah, pada suatu hari, benar-benar tidak ada pembeli sama sekali.
            Rasanya saya ingin menyerah saja. Kenapa hidup saya jadi begitu muram. Sementara keinginan saya menikah semakin kuat saja. Duuuhh…., mudah-mudahan saja Rahma belum punya calon. Semoga saja dia diperuntukkan Allah buat saya. Begitu selalu doa saya dalam hati. Lalu datanglah Tedi dan Lilis. Keduanya tertawa lebar, ‘’ mentertawakan ‘’ saya.
            ‘’ ya ampun, Wan, mestinya kamu kasih tahu kita dong ! kita kan bisa bawa orang untuk makan-makan di sini ! kalau kelihatan ramai, pasti orang penasaran ingin lihat.’’
            Begitulah, berkat bantuan Tedi dan Lilis, depot bakso enak itu akhirnya perlahan mulai menampakkan hasilnya. Dari sepuluh pelanggan menjadi dua puluh dan seterusnya. Setelah genap setengah tahun, saya tak bisa lagi melayani sendirian. Harus menambah satu pegawai.
            Rahma tentu saja turut senang. Saya jadi tak enak kalau menumpang terus. Keinginan saya untuk pindah dan mencari di tempat di luar, ditentangnya keras-keras.
            “buat apa kamu mesti pindah, Wan ? di sini semuanya berjalan baik. Rumahku  malahan juga aman dant terawat. Sudahlah, kamu tenang saja usaha di situ. ‘’ kata Rahma.
            Saya terpaksa menurut. Dipikir-pikir mencari tempat lain juga belum tentu selancar usaha di tempat Rahma. Apalagi di daerah tersebut memang cukup dekat dengan perkantoran dan kampus. Jadi, banyak orang yang kenal dengan bakso saya.
            Sedikit banyak, saya sudah mulai tenang dengan pekerjaan saya. Kehidupan saya perlahan-lahan mulai membaik. Saya masih belum berani menyampaikan keadaan saya ini pada orangtua. Khawatir mereka tidak setuju dengan pilihan saya. Saya tahu, mereka sangat berharap anaknya bekerja di instansi swasta yang bonafid atau sekalian jadi pegawai pemerintah.
            Dari berulangkalinya melamar dan tidak ada yang jebol juga, saya sudah tidak berharap lagi bisa bekerja kantoran. Mungkin jalan hidup saya memang harus jadi tukang bakso. Ya, tapi saya menikmati pekerjaan ini dan saya senang sekali.
            Yang namanya ujian bisa datang kapan saja. Saat saya sudah merasa mantap dengan pekerjaan saya, tahu-tahu saja ada lamaran saya yang diterima. Saya diminta datang untuk wawancara terakhir.
            Sejujurnya saya merasa surprised. Tak bertanya tanya, saya memutuskan untuk datang ke wawancara tersebut. Di situ, selain tanya hal-hal yang umum juga sekaligus negosiasi gaji. Tidak  saya bayangkan. Saya meminta waktu untuk menyetujui atau menolaknya.
            Dalam hati, saya benar-benar tergiur dengan pekerjaan itu. Kelihatannya elite dan gajinya cukup besar. Toh,ada yang mengusik hati kecil saya. Seberapapun baiknya kerja di tempat orang, sewaktu-waktu akan mungkin saja saya di PHK lagi. Itu sudah cukup membuat saya sangat trauma.

PILIHAN HATI
            “Wooow.. selamat dong ! apa yang perlu kamu risaukan ?” tanya Rahma. “bukankah usaha bakso sudah jalan ? kamu tinggal menambah satu pegawai. Mengontrol tiap pagi,siang dan malam. Apa masalahnya ?”
            “apa aku bisa mengerjakannya ?”
            “bisa, aku yakin kamu pasti bisa, Wan.”
            Saya memikirkannya berapa saat lamanya. Saya bisa saj memenuhi saran Rahma. Lalu, sebentuk gambaran di benak muncul sekilas dengan cepat. Saya bisa menikah.
            “apa lagi yang kamu ragukan ?” usik Rahma beberapa saat kemudian.
            Saya tersenyum datar. Menatap Rahma sekilas.
            “Rahma…  maukah kalau aku sudah pasti kerja…kamu…eh, menikah denganku ?” tanya saya
            Senyum Rahma merekah. Jawaban yang tak saya duga muncul.
            “sejak kamu memutuskan mulai usaha bakso pun, aku sudah sangat mau menikah denganmu, Wan…”
            “kamu….!” Seru saya nyaris tertahan dan tak percaya.
            Senyum Rahma masih merekah. “ aku ini perempuan, Wan. Masih terbelenggu etika timur. Meskipun rasanya kalau tiap malam kamu menyelesaikan pekerjaanmu dan menutup depot kamu, duuuh., inginku kamu tetap bersamaku.”
            “ apa kamu tidak takut kalau usahaku rugi ?”
            “Wan, Wan…. Kamu itu tidak mengerti ya, filosofinya orang menikah ? kalau miskin, Allah akan membuatnya kaya. Lagipula, awal-awal menikah aku tak akan keberatan menopang suamiku.” Katanya pelan dan sangat santun.
            “Duuuh… Rahma betapa banyak kita rugi waktu,” kata saya.
            “jadi…?”
            “ ya …sebaiknya kita saling mengenal keluarga masing-masing dan menikah.”
            “kapan ?”
            “secepatnya.”
            “kamu tetap mau kerja ?”
            “kukira usulmu ada bagusnya. Aku masih menjalani uji cobanya tiga bulan. Nanti aku lihat, mau terus atau total mengurusi bakso.”
            “alhamdulillah.”
            Senyum Rahma merekah. Jujur saja, saya tidak tahu apa yang mesti saya katakan saat itu. Seandainya saja tahu jalan hidup saya di kota ini, sudah sejak lama saya meninggalkan Jakarta. Ternyata benar, istikharah membawa kemudahan dan kemuliaan.
            Sayang, walaupun sudah jelas begitu banyak manfaatnya. Tidak banyak orang mau menjalankannya. Padahal, shalat istikharah sangat mudah dan bisa kapan saja dilakukan. Rakaatnya pun tidak berat. Minimal dua rakaat.
            Dalam hati saya berjanji , apa saja yang memerlukan pertimbangan akan selaku dikonsultasikannya pada Allah. Dialah yang mengetahui apa saja yang tersembunyi. Lagipula, sesuatu yang sangat kita harapkan dan inginkan, bisa jadi tidak baik buat kita.
            Alhamdulillah pula, urusan segalam macam pernikahan saya dengan Rahma mudah dan dilancarkan Allah. Hanya dua bulan sejak kami memutuskan menikah, acara akad dan resepsi terlaksana. Semuanya begitu mudah dan lancar.
            Tidak pernah saya pikirkan., bahwa jalan rejeki dan jodoh saya bisa berjalan melalui satu orang. Rahma. Saya hanya bisa memanjatkan puji syukur yang tak terkira atas kemurahan Allah SWT.


Sumber : buku Jodoh cinta Update, kisah inspiratif dan menggugah tentang menemukan jodoh cinta. Ari Wulandari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar