Kamis, 15 November 2018

Mengenangmu

Semenjak kepergiannya 22 tahun lalu, november selalu berwarna kelabu. Berkali mencoba menghibur diri dengan menikmati keindahan ciptaan-Nya. Mensyukuri semua hal baik yang ku alami walau tanpa dia. Namun november selalu berwarna sama.

Ada masa dimana aku melewati 16 november dalam rona hitam. Berbincang dengan angin tentang sosoknya, disaksikan deburan ombak yang saling menggulung. Tanpa terasa airmata mengalir tak terbendung. Menyisakan lebamnya mata tanda luka.

Butuh 20 tahun untukku mengerti dan menerima luka.
Sebelumnya, pernah ku merasa betapa jahatnya ia meninggalkanku yang masih butuh pendampingan.
Sebelumnya, seringkali ku berandai ia menemani perubahan fase dihidupku.
sebelumnya, acapkali ku mengeluh, ketiadaannya membuatku tak punya tempat  mengadu.
sebelumnya, ada malam dimana ku merintih mengapa harus aku yang mengalami ini.
sebelumnya, aku fokus pada luka.

Hingga 2 tahun yang lalu, aku menjadi ibu.
Aku belajar memposisikan diriku sebagai dia.
Jika aku harus pergi saat anakku masih membutuhkanku, apa yang kuharapkan?

Tiada ibu yang bisa melihat anaknya bersedih.
Andai abeille terluka, aku akan menjadi orang yang paling berduka.
Lantas bagaimana mungkin aku akan menangis jika sedihku hanya akan menjadi beban (almh) ibuku?

Selama 20 tahun kehidupanku tanpanya, November adalah bulan duka, hingga 2 tahun lalu, Allah mengizinkanku menjadi ibu.

Anakku lahir di bulan ibuku meninggal.
Cucu perempuan pertamanya.
Mengubah warna november menjadi ceria.
Jika dulu ada masa ku menangis mengenangnya, kali ini ku tersenyum mengingatnya. Ntah bagaimana aku merasa ia sedang tersenyum melihatku.

Mamak,
Terimakasih sudah melahirkan dina.
Maaf atas setiap tetes air mata.
Tenanglah disana.
Semoga Allah mempertemukan kita di Jannah-Nya.