Rabu, 28 Februari 2024

Lelah Batin

Tadi setelah mengikuti pengajian triwulan rencananya mau bikin rangkuman, malah scroll instagram berujung nonton reels  dari dosen filsafat sepertinya. Aku lupa nama akunnya tapi masih ingat beberapa poin yang disampaikan. Rasanya kok “aku banget”. Pembahasan tentang kelelahan secara batin. Ciri-cirinya persis seperti yang aku alami. Tidak punya motivasi, kelelahan secara fisik (padahal gak ngapa-ngapain), sulit konsentrasi, sulit tidur, mudah terpancing emosi dan sederet ciri lain yang aku rasakan belakangan ini.

Penyebabnya apa ya? Katanya sih bisa karena stress berlebihan. Kalo aku kayaknya karena overthinking deeh, stress yang dibuat sendiri. Kebanyakan rasa lelah ini berasal dari pikiran. Hidupku pada dasarnya cukup. Allah terlalu mencintaiku dan semua doaku dijawab sesuai harapan. Tapi rasa lelah itu tetap ada. Kenapa? Sepertinya menjadi ibu rumah tangga membuatku merasakan isolasi sosial. Apakah suamiku melarang bergaul? Tidak. Tapi aku sendiri yang terlalu nyaman di rumah dan tidak ingin meninggalkan kenyamananku. Bergaul baik untuk kesehatan mental sepertinya. Berbincang dengan orang lain, berbagi keluh, tertawa bersama, stress release yang baik sepertinya. Tapi aku terlalu pemalas, ini penyakit utamaku sepertinya. Rasa malas ini juga yang membuat hidupku tidak seimbang. Jarang gerak, makan tidak teratur, terlalu lama bersama gawai. Astaghfirulla… 

Penyakit yang memang disebabkan gaya hidup tidak sehatku sendiri.  Katanya hidup yang terlalu nyaman pada akhirnya akan membuat kita tidak nyaman. Betul sekali. Hidupku yang terlalu mudah membuatku menjadi pemalas level dewa. Tidak adanya motivasi dan dorongan dari sekitar yang memaksaku berubah membuatku semakin menikmati kemalasan. Siapa yang salah? Aku lah. Motivasi terbesar haruslah berasal dari dalam. Aku harus kuat melawan kemalasanku sendiri.

Secara teori sih katanya cara mengatasi kelelahan batin ini adalah dengan mengistirahatkan tubuh dan pikiran, berkonsentrasi (sholat yang khusyuk), menentukan prioritas, berolahraga, mengatur asupan makanan yang masuk dan sederet kebiasaan positif lainnya. Terus kenapa ga dikerjain dina kalo udah tau caranya? Lingkungan itu penting banget ya. Punya suami yang selalu menerima apa adanya membuatku tidak tertantang untuk menjadi lebih baik. Tapi apa mungkin dia yang salah? Tetap salahku sih. Dengan semua fasilitas ini, seharusnya aku mampu memotivasi diriku untuk menikmati hidup. Menikmati dengan maksimal. Bukan cuma glundang glundung dikasur empuk sepanjang hari.

Aku ga yakin sih aku akan mudah berubah walau sudah tahu faktanya. Tapi satu yang pasti, hidupku akan selalu diliputi kelelahan batin jika aku tidak mengubah kebiasaan. So… dina mau berkubang dalam lelah atau berjuang naik dan berdaya?